JUSINDO, Vol. 7 No. 1, Januari 2025
p-ISSN: 2303-288X, e-ISSN: 2541-7207
Jurnal Sehat Indonesia: Vol. 7, No. 1, Januari 2025 | 424
Tantangan dalam Mendiagnosis Leptospirosis pada Fasilitas Kesehatan
Dasar di “Serambi Nusantara” Penajam Paser Utara: Laporan Kasus
Wildan Priscillah
1
, Vip Paramarta
2
, Dhiya Nada Putri
3
UPTD. Puskesmas Sebakung Jaya, Panajam Paser Utara, Indonesia
1
Universitas Sangga Buana YPKP Bandung, Bandung, Indonesia
2
Universitas Muhammadiyah Surakarta, Surakarta, Indonesia, Indonesia
3
1
ABSTRAK
Kata Kunci:
Leptospirosis; Penajam
Paser Utara; Antibiotik;
diagnosis
Pendahuluan: Leptospirosis merupakan fenomena the tip of iceberg
yang kenyataannya kasus ini meningkat tetapi sering mengalami
misdiagnosis, under-diagnosis, dan under reported di pelayanan dasar
kesehatan. Minimnya fasilitas dan belum adanya laboratorium untuk
melakukan pemeriksaan Leptospirosis di Kabupaten Penajam Paser
Utara menjadi tantangan seorang dokter untuk menegakkan diagnosis
dan memberikan terapi pengobatan secara tepat dan akurat. Tujuan:
Laporan kasus ini bertujuan untuk menjelaskan tantangan dan
tatalaksana Leptospirosis pada fasilitas kesehatan di Penajam Paser
Utara. Hasil dan Pembahasan: Pasien Laki-laki berusia 42 tahun
datang ke Puskesmas Sebakung Jaya, Penajam Paser Utara,
Kalimantan Timur dengan keluhan utama rasa sakit pada kaki, disertai
demam, mual, dan nyeri kepala yang berlangsung selama dua hari.
Pasien memiliki riwayat kadar asam urat yang tinggi. Pasien seorang
petani yang memiliki kebiasaan tidak menggunakan alas kaki saat
pergi ke sawah. Pasien dilakukan pengambilan sampel darah vena
untuk dilakukan pemeriksaan Leptospirosis. Hasil pemeriksaan
laboratorium dengan menggunakan metode pemeriksaan PCR dengan
Pockit Micro Plus didapatkan hasil pasien positif (+) Bakteri
Leptospira sp. Pasien diberikan terapi sementara yaitu Doksisiklin 100
mg dua kali sehari selama 7 hari, Piroxicam 100 mg dua kali sehari,
Aloopurinol 100 mg sekali sehari, dan Zink sekali sehari serta pasien
diminta untuk kontrol kembali dalam waktu 3 hari setelah kunjungan.
Pasien diberikan KIE untuk menggunakan sepatu pada saat pergi
kesawah untuk meminimalisir faktor predisposisi. Kesimpulan:
Minimnya fasilitas kesehatan dasar di Penajam Paser Utara
menjadikan seorang dokter harus lebih sensitive lagi dalam
penegakkan diagnosis khususnya pada kasus Leptospirosis sehingga
dapat memberikan pertolongan pertama seperti pemberian antibiotik
saat muncul gejala untuk menghindari kondisi yang lebih buruk.
ABSTRACT
Introduction: Leptospirosis is a tip of the iceberg phenomenon
in which cases are increasing but are often misdiagnosed,
under-diagnosed, and under reported in basic health services.
The lack of facilities and the absence of a laboratory to conduct
Leptospirosis examinations in Penajam Paser Utara District is
a challenge for a doctor to make a diagnosis and provide
appropriate and accurate treatment therapy. Objective: This
case report aims to explain the challenges and management of
Leptospirosis in health facilities in Penajam Paser Utara.
Results and Discussion: A 42-year-old male patient came to
Keywords:
Leptospirosis; Penajam
Paser Utara; Antibiotics;
diagnosis
Jurnal Sehat Indonesia: Vol. 7, No. 1, Januari 2025 | 425
Puskesmas Sebakung Jaya, Penajam Paser Utara, East
Kalimantan with a chief complaint of leg pain, accompanied by
fever, nausea, and headache that lasted for two days. The
patient has a history of high uric acid levels. The patient is a
farmer who has a habit of not wearing footwear when going to
the fields. The patient was given a venous blood sample to be
tested for Leptospirosis. Laboratory examination results using
the PCR examination method with Pockit Micro Plus showed
that the patient was positive (+) for Leptospira sp. The patient
was given temporary therapy, namely Doxycycline 100 mg twice
a day for 7 days, Piroxicam 100 mg twice a day, Aloopurinol
100 mg once a day, and Zinc once a day and the patient was
asked to return to control within 3 days after the visit. Patients
were given IEC to wear shoes when going to the field to
minimize predisposing factors. Conclusion: The lack of basic
health facilities in Penajam Paser Utara makes a doctor have to
be more sensitive in enforcing diagnosis, especially in cases of
Leptospirosis so that he can provide first aid such as giving
antibiotics when symptoms appear to avoid worse conditions.
Coresponden Author: Wildan Priscillah
Artikel dengan akses terbuka dibawah lisensi
Pendahuluan
Leptospirosis merupakan infeksi zoonosis umum yang masih menjadi masalah
kesehatan di dunia. Strain pathogen dari bakteri Leptospira sp (bakteri Gram-negatif),
yang masih termasuk kedalam famili Leptospiraceae dan Ordo Spirochatales merupakan
bakteri utama penyebab terjadinya Leptospirosis (Saraswati dkk., 2017). Tikus adalah
reservoir utama dari bakteri ini yang dipelihara secara alami dalam tubulus ginjal dan
dikeluarkan melalui urin. Leptospirosis berat (dikenal sebagai Sindrom Well) dengan
gambaran klinis ikterus, gangguan fungsi ginjal, dan manifestasi pendarahan
diidentifikasi oleh Adolf Weil pada tahun 1886 (Sanyasi, 2018).
Leptospirosis paling banyak dijumpai di negara-negara berkembang yang beriklim
tropis dan subtropik, salah satunya di Asia Tenggara yang merupakan salah satu daerah
endemis Leptospirosis. Prevalensi insiden terjadinya kasus Leptospirosis diseluruh dunia
diperkirakan mencapai lebih dari satu juta kasus dan memiliki tingkat kematian cukup
signifikan sebesar 59.000 jiwa. Pada tahun 2020 menurut (Kemenkes, 2021) dilaporkan
terdapat 906 kasus Leptospirosis terjadi di Indonesia dengan 29 kasus kematian (case
fatality rate ) sebesar 12,13% (Wulandari & Hendrati, 2022).
Di Indonesia, Leptospirosis merupakan fenomena the tip of iceberg yang
kenyataannya Leptospirosis meningkat tetapi misdiagnosis, under-diagnosis, dan under
reported di pelayanan dasar kesehatan (Prasteyo, 2022). Salah satu contoh yang terjadi di
daerah Penajam Paser Utara Provinsi Kalimantan Timur pada tahun 2023 terdapat
Jurnal Sehat Indonesia: Vol. 7, No. 1, Januari 2025 | 426
sebanyak tiga kasus dan dua diantaranya mendapatkan perawatan di Intensive Care Unit
(ICU) di RSUD Ratu Aji Putri Botung Kabupaten Penajam Paser Utara. Minimnya
fasilitas kesehatan seperti laboratorim dan tenaga medis ahli di pelayanan dasar
(Puskesmas) menjadi tantangan tersendiri dan kendala dalam mendiagnosis penyakit
Leptospirosis dikarenakan gejala yang tidak spesifik dengan penyakit lainnya termasuk
influenza, malaria, demam kuning, dan demam berdarah sehingga sangat penting untuk
menaruh kecurigaan klinis terhadap Leptospirosis sejak dini dan melihat epidemilogi
serta faktor resiko serta riwayat pasien yang komperhensif termasuk paparan ditempat
kerja (Browne dkk., 2023). Selain itu, sampai saat ini juga masih belum ada cara
pencegahan, pengobatan, dan vaksinasi yang paling efektif untuk penyakit ini.Faktor
predisposisi terjadinya Leptospirosis dikalangan masyarakat secara umum selain
tingginya populasi tikus sebagai reservoir utama Leptospirosis yaitu sanitasi lingkungan
yang buruk, dan pada daerah pedesaan khususnya persawahan masih banyak petani yang
tidak menggunakan alas kaki saat ke sawah Hal ini terbukti dengan tingginya kasus
Leptospirosis yang terjadi dikalangan petani.
Saat ini yang menjadi gold standard untuk pemeriksaan Leptopspirosis yaitu
dengan mendeteksi adanya antibody leptospira menggunakan uji Microscopic
Agglutination Test (MAT), yang menggunakan kultur hidup strain leptopspira yang diuji
pada pengenceran terhadap serum pasien baik itu manusia maupun hewan perantara
(Acuña-Guillén dkk., 2022). Sample klinis yang dapat digunakan tergantung dari tingkat
fase infeksi bisa berasal dari spesimen darah, cairan serebrospinal (minggu pertama masa
sakit), dan urin (sesudah minggu pertama sampai hari ke-40) (Browne dkk., 2022). Selain
itu, mulai dikembangkan juga metode Polymerase Chain Reaction (PCR) dalam deteksi
secara dini Leptospirosis sebagai pelengkap uji gold standard yang memiliki keterbatasan
namun metode ini cukup mahal dan belum banyak fasilitas kesehatan dasar yang
mumpuni (Sanyasi, 2018).
Laporan Kasus
Pada tanggal 7 November 2023 pukul 09.30 WITA seorang pasien laki-laki
berinisial S berusia 42 tahun datang ke Puskesmas Sebakung Jaya, Penajam Paser Utara,
Kalimantan Timur dengan keluhan utama rasa sakit pada kaki dan tidak dapat
menunjukkan secara spesifik dimana rasa nyeri berasal. Keluhan tersebut dirasakan sejak
dua hari yang lalu. Pasien juga mengeluhkan gejala lainnya seperti demam pada awal
keluhan tetapi demam yang dirasakan tidak begitu lama kemudian berlanjut dengan rasa
nyeri pada kaki kanan. Rasa mual juga dirasakan pada pasien tersebut dan berlangsung
selama 2 hari. Gejala nyeri dan mual juga diperberat dengan keluhan nyeri kepala yang
menetap sejak awal gejala nyeri pada kaki muncul. Pada pemeriksaan fisik tidak
ditemukan kuning pada bagian skelera ikterik mata, demam tinggi, ataupun nyeri pada
pinggang.
Pada pemeriksaan sistem pernafasan, gastrointestinal, urinaria tidak didapatka
keluhan dan masalah seperti tidak ada rasa nyeri dan panas saat buang air kecil. Secara
status sosial, pasien merupakan seorang petani yang aktif bekerja setiap hari ke sawah.
Jurnal Sehat Indonesia: Vol. 7, No. 1, Januari 2025 | 427
Dari riwayat yang disampaikan pasien, pada saat bekerja ke sawah memiliki kebiasaan
tidak menggunakan sepatu (tidak menggunakan alas kaki). Kebiasaan tersebut sudah
dilakukan sejak pasien menjadi seorang petani.
Pada pemeriksaan subjektif (medical history), pasien pernah mengalami kadar
asam urat yang tinggi kurang lebih satu tahun yang lalu dan sejak saat itu pasien tidak
pernah memeriksakan kembali kadar asam uratnya. Pada pemeriksaan vital sign
didapatkan hasil tekanan darah: 108/72 mmHg, denyut nadi: 71 kali/menit, frekuensi
pernafasan: 20 kali/menit, dan suhu: 36,8
0
C. Pada pemeriksaan pada otot gastrocnemius
didapatkan nyeri tekan pada otot gastrocnemius sebelah kanan dan tidak ditemukan nyeri
tekan pada otot sebelah kiri.
Setelah dilakukan pemeriksaan fisik, pasien dilakukan pemeriksaan laboratorium
berupa pengambilan darah lengkap, kolestrol, gula darah sewaktu, dan asam urat.
Didapatkan hasil kadar kolestrol: 162 mg/dL, dan kadar gula darah sewaktu : 135 mg/dL,
sedangkan darah lengkap dan asam urat belum dilakukan dikarnakan reagen dan stik
asam urat belum ada di Puskesmas.
Dari hasil pemeriksaan subjektif dan objektif serta pemeriksaan penunjang maka
dokter puskesmas mendiagnosis pasien tersebut suspek Leptospirosis. Setelah itu pasien
diberikan terapi sementara oleh dokter Puskesmas dengan pemberian terapi Doksisiklin
100 mg dua kali sehari selama 7 hari, Piroxicam 100 mg dua kali sehari, Aloopurinol 100
mg sekali sehari, dan Zink sekali sehari serta pasien diminta untuk kontrol kembali dalam
waktu 3 hari setelah kunjungan. Dokter Puskesmas juga memberikan KIE untuk
mengintruksikan pasien menggunakan sepatu pada saat pergi kesawah untuk
meminimalisir faktor predisposisi.
Setelah didapatkan adanya kasus suspek Leptospirosis kemudian tim medis
Puskesmas Sebakung Jaya menindaklanjuti kasus tersebut dengan melakukan pelacakan
kasus oleh tenaga surveilens Puskesmas untuk mendalami kasus serta memantau
kemungkinan terjadinya penyebaran kasus Leptospirosis diwilayah kerja Puskesmas
Sebakung Jaya. Setelah dilakukan forum group discussion dengan petugas kesehatan
yang ada di Puskesmas Sebakung Jaya diputuskan pada tanggal 14 November 2023 atau
tepat tujuh hari setelah pengobatan pada kasus pasien suspek Leptospirosis dilakukan
kunjungan rumah untuk memantau kondisi dan dilakukan pengambilan sampel darah
vena untuk dilakukan penegakkan diagnosis pasti seperti pada Gambar 1.
Jurnal Sehat Indonesia: Vol. 7, No. 1, Januari 2025 | 428
Gambar 1. Pengambilan Sampel Darah Vena pada pasien
Sumber: Dokumentasi Puskesmas Sebakung Jaya, 2023
Pada kunjungan kedua setelah dilakukan terapi didapatkan hasil untuk nyeri betis
masih dirasakan pasien namun sudah jauh berkurang dibandingkan sebelum pemberian
medikasi (obat) dari Puskesmas, untuk mual sudah tidak ada, dan nyeri kepala sudah
tidak dirasakan. Dari hasil tersebut maka diputuskan untuk menambah durasi pemberian
antibiotik Doksisilin 100 mg dua kali sehari selama tujuh hari kedepan. Sampel darah
vena pasien yang sudah diambil kemudian dikemas dalam wadah khusus dan dikirim ke
Dinas Kesehatan Kabupaten Penajam Paser Utara untuk dilakukan pengiriman kembali
ke Laboratorium yang mumpuni dalam memeriksa Leptospirosis, dalam hal ini
Laboratorium yang dapat melakukan pemeriksaan tersebut adalah Kantor Kesehatan
Pelabuhan Kelas II Samarinda, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Direktorat
Jendral Pencegahan dan Pengendalian Penyakit.
Tabel 1. Hasil Pemeriksaan Sampel Leptospirosis Serum Darah
Kode Sampel
Jenis dan Asal Sampel
Hasil Pemeriksaan
Keterangan
42
Serum Darah Bapak
Inisial S Umur 42 tahun
Dinkes PPU
Metode
Pemeriksaan
PCR dengan
Pockit Micro
Plus
Sumber: Laboratorium Kantor Kesehatan Pelabuhan Kelas II Samarinda, Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia, 2023
Pada tanggal 15 Desember 2023 hasil laboratorium sampel darah vena pasien
diterima oleh Puskesmas Sebakung Jaya dan didapatkan hasil pasien tersebut terdiagnosis
positif (+) Bakteri Leptospora dengan menggunakan metode pemeriksaan PCR dengan
Pockit Micro Plus dapat dilihat pada Tabel 1. Minimnya akses dan fasilitas laboratorium
yang memadai di pelayanan dasar kesehatan membutuhkan waktu 5 minggu untuk
mendapatkan hasil laboratorium yang mumpuni melakukan pemeriksaan Leptospirosis.
Hal ini menjadi sebuah tantangan bagi dokter dan tenaga Kesehatan di daerah terpencil
untuk lebih responsive terhadap keluhan pasien tidak hanya melihat dari aspek gejala
namun dari segi aktivitas kegiatan sehari-hari yang mungkin membantu dalam
penegakkan diagnosis. Kasus Leptospirosis juga menjadikan gambaran bahwa kasus ini
tidak boleh dipandang sebelah mata atau under-diagnosis. Selain itu, diperlukan edukasi
kepada masyarakat khususunya dikalangan mata pencaharian petani yang memiliki
kebiasaan buruk seperti tidak menggunakan sepatu saat berpergian kesawah sehingga
dapat meminimalisir angka terjadinya Leptospirosis.
Hasil Dan Pembahasan
Leptospirosis merupakan infeksi zoonosis dengan kejadian sepuluh kali lebih
tinggi di daerah tropis dibandingkan didaerah beriklim sedang (Wilairatana dkk., 2021).
Sumber utama penularan Bakteri Leptospira Sp berasal dari urin hewan, air atau tanah
Jurnal Sehat Indonesia: Vol. 7, No. 1, Januari 2025 | 429
yang terkontaminasi atau jaringan hewan yang terinfeksi Proses penyebaran infeksi
bakteri masuk kedalam tubuh melalui luka lecet atau terbuka pada mukosa dan kulit
kemudian memasuki sistem limfatik dan aliran darah. Masa inkubasi bakteri ini dalam
tubuh berlangsung sekitar 7-14 hari (Zhu dkk., 2022). Peningkatan leptospirema dapat
memicu respon imun seperti sepsis sehingga terjadi peningkatan Interleukin-6 (IL-6) dan
Tumor Necrosis Alpha (TNF-α) (Sukma dkk., 2021). Jika terlambat dalam melakukan
diagnosis dan terapi dapat mengakibatkan komplikasi berupa Leptospirosis
Ikterohemoragik (Penyakit Weil) dan disertai dengan gagal ginjal akut, rhabdomylosis,
trombositopeni, dan gagal nafas (Ade & Gautama, 2014).
Resiko tinggi terkena penyakit Leptospirosis biasanya pada pekerja dengan mata
pencaharian sebagai petani dan lingkungan perumahan yang kumuh dan tidak sehat
(Muna, 2018). Faktor predisposisi petani menjadi rawan terkena Leptospirosis
dikarenakan kebiasaan buruk tidak menggunakan alas kaki saat berpergian ke sawah
sehingga mengakibatkan kontak langsung dengan tanah dan air yang mungkin
terkontaminasi bakteri Leptospora Sp (Afiany dkk., 2018). Pada daerah persawahan dan
iklim tropis juga menjadi faktor pendukung dan tempat hidup hewan pengerat khususnya
tikus yang menjadi reservoir bakteri Leptospora Sp (Kesuma dkk., 2022).
Terdapat 3 kriteria dalam mendiagnosis Leptospirosis, yaitu kasus suspek,
probable, dan konfirmasi (Fitriana dkk., 2019). Kriteria kasus suspek meliputi: demam
akut dengan atau tanpa sakit kepala, disertasi dengan nyeri otot, lemah (malaise),
conjungtival suffusion, dan ada riwayat terpapar dengan lingkungan yang terkontaminasi
atau aktifitas yang merupakan faktor resiko Leptospirosis dalam kurun waktu 2 minggu
(Samekto dkk., 2019). Kriteria kasus probable adalah jika terdapat dua gejala klinis di
antara tanda-tanda berikut: a) nyeri betis; b) sklera ikterik; c) manifestasi pendarahan; d)
sesak nafas; e) oliguria atau anuria; f) aritmia jantung; g) batuk dengan atau tanpa
hemoptisis; dan h) ruam kulit. Selain itu, memiliki gambaran laboratorium: a)
Trombositopenia < 100.000 sel/mm; b) Leukositosis dengan neutropilia > 80%; c)
Kenaikan jumlah bilirubin total > 2 gr% atau peningkatan SGPT, amilase, lipase, dan
creatine phosphokinase (CPK); dan d) penggunaan RDT (Sanyasi, 2018). Kasus
konfirmasi dapat ditegakkan apabila kasus probable disertai salah satu dari gejala berikut:
a) Isolasi bakteri Leptospira dari specimen klinik; b) hasil Polymerase Chain Reaction
(PCR) positif: dan c) Sero konversi Microscopic Agglutination Test (MAT) dari negative
menjadi positif (Pujiyanti dkk., 2020).
Pemberian medikasi berupa antibiotik empiris juga harus dilakukan sejak terdapat
dugaan suspek Leptospirosis, biasanya untuk kasus ringan dapat diberikan antibiotik
spektrum luas seperti Amoksisilin 500 mg atau Azitromisin 500 mg sekali setiap hari
selama tiga hari dan Doksisiklin 100 mg peroral dua kali sehari. Hal ini dilakukan agar
kondisi pasien tidak masuk kedalam kategori Leptospirosis yang berat dikarenakan
penyebaran bakteri Leptospora yang invasive akibat dari keterlambat dalam melakukan
terapi (Sholichah dkk., 2021). Pasien suspek atau yang terkonfirmasi leptospirosis yang
memiliki gejala klinis ringan dan tidak ada penyakit penyerta dapat rawat jalan dengan
pemantauan berkala untuk mendeteksi komplikasi. Pemberian doksisiklin 100 mg dua
Jurnal Sehat Indonesia: Vol. 7, No. 1, Januari 2025 | 430
kali sehari selama 7 hari. Lakukan pemeriksaan hitung darah lengkap, protein C-reaktif,
kreatinin, urea, elektrolit, transaminase hati, bilirubin, pantau produksi urin dan tinjau
setiap 48 jam. Rawat di rumah sakit jika terjadi penyakit kuning, penurunan produksi
urin, hematuria, batuk, atau kesulitan bernapas, atau jika secara klinis sangat sakit
(Rajapakse, 2022).
Gejala leptospirosis tidak spesifik kadang tidak dapat dibedakan dengan gejala
malaria dan penyakit infeksi lainnya (Sari, 2021). Oleh karena itu dokter yang merawat
pasien demam didaerah yang endemis malaria dan Leptospirosis harus menjaga indeks
kecurigaan yang tinggi terhadap penyakit tersebut (Depo dkk., 2019). Meskipun
Leptospirosis merupakan penyakit yang sering terjadi didunia namun tingkat
pengetahuan masyarakat atas penyakit tersebut masih rendah. Penting untuk dipahami
bahwa penularan bakteri bisa terjadi meliputi penyebaran melalui manusia, hewan, dan
lingkungan yang saling berhubungan satu sama lain (Andriani & Sukendra, 2020).
Keterbatasan Penelitian
Penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan yang perlu diperhatikan untuk
interpretasi hasil dan implikasi klinisnya. Pertama, penelitian ini hanya merupakan
laporan kasus dari satu pasien sehingga generalisasi temuan terhadap populasi yang lebih
luas masih terbatas. Penelitian dengan sampel yang lebih besar diperlukan untuk
memperoleh kesimpulan yang lebih komprehensif.
Kedua, fasilitas laboratorium yang terbatas di daerah Penajam Paser Utara
menjadi kendala dalam melakukan diagnosis cepat dan akurat terhadap kasus
Leptospirosis. Waktu tunggu yang cukup lama dalam memperoleh hasil laboratorium
juga dapat berdampak pada keterlambatan intervensi medis yang lebih efektif.
Ketiga, metode diagnostik yang digunakan dalam penelitian ini adalah PCR, yang
meskipun memiliki sensitivitas dan spesifisitas tinggi, tetapi biayanya cukup mahal dan
belum tersedia secara luas di fasilitas kesehatan dasar. Oleh karena itu, masih diperlukan
pengembangan metode diagnostik yang lebih efisien dan terjangkau untuk mendukung
deteksi dini Leptospirosis di daerah dengan fasilitas terbatas.
Keempat, penelitian ini tidak mencakup evaluasi jangka panjang mengenai
efektivitas terapi antibiotik yang diberikan kepada pasien. Oleh karena itu, penelitian
lebih lanjut diperlukan untuk mengevaluasi respons jangka panjang pasien terhadap
pengobatan serta risiko kekambuhan atau komplikasi yang mungkin terjadi.
Terakhir, faktor lingkungan dan kebiasaan masyarakat dalam pencegahan
Leptospirosis belum dieksplorasi secara mendalam dalam penelitian ini. Studi lanjutan
dengan pendekatan epidemiologi yang lebih luas dapat membantu memahami faktor
risiko yang berkontribusi terhadap penyebaran penyakit ini serta merancang strategi
pencegahan yang lebih efektif.
Kesimpulan
Penegakan diagnosis dan tatalaksana Leptospirosis di fasilitas Kesehatan dasar di
Penajam Paser Utara menjadi sebuah masalah tersendiri bagi dokter. Hal ini dikarenakan
Jurnal Sehat Indonesia: Vol. 7, No. 1, Januari 2025 | 431
gejala dari Leptospirosis yang tidak spesifik dan beragam serta tidak adanya fasilitas
laboratorium untuk melakukan pemeriksaan sehingga membutuhkan waktu yang lama
untuk mengetahui diagnosis final. Secara geografis, letak Kabupaten Penajam Paser Utara
yang memiliki banyak persawahan cenderung menjadi sarana dalam penyebaran
Leptospirosis. Oleh sebab itu, dokter harus lebih sensitive lagi terhadap kasus
Leptospirosis sehingga dapat memberikan pertolongan pertama seperti pemberian
antibiotik saat muncul gejala untuk menghindari kondisi yang lebih buruk.
Daftar Pustaka
Acuña-Guillén, D. J., Vásquez-Palomino, Á., & Novoa, R. H. (2022). Severe leptospirosis in
puerperium: a case report. Ginecologia y Obstetricia de Mexico, 90(6), 543549.
https://doi.org/10.24245/gom.v90i6.6774
Ade, I. M., & Gautama, S. (2014). Infeksi Leptospirosis Dengan Gejala Jaundice Dan Acute
Kidney Injury : Sebuah Laporan Kasus Leptospyrosis Infection With Jaundice and Acute
Kidney Injury Symptoms : a Case Report. E-Jurnal Medika Udayana, 19.
Afiany, R., Tri, K. T., Tri Rifdania, K. T. A., Afiany, R., Tri, K. T., & Tri Rifdania, K. T. A.
(2018). Oh-8 Penanggulangan Kasus Leptospirosis Pada Ternak Dengan Pendekatan One
Health Di Kabupaten Boyolali. Hemera Zoa, Proceedings of the 20th FAVA & the 15th
KIVNAS PDHI 2018, 500502.
Andriani, R., & Sukendra, D. M. (2020). Faktor Lingkungan dan perilaku pencegahan dengan
kejadian leptospirosis di Daerah Endemis. Higeia Journal of Public Health Research and
Development, 1(3), 625634.
Browne, E. S., Callefe, J. L. R., DE Jesus, E. R. S., Zeppelini, C. G., Cremonese, C., & Costa, F.
(2022). A Systematic Review of the geographic distribution of pathogenic Leptospira
serovars in the Americas, 1930-2017. Anais da Academia Brasileira de Ciencias, 94(3), 1
15. https://doi.org/10.1590/0001-3765202220201026
Browne, E. S., Pereira, M., Barreto, A., Zeppelini, C. G., de Oliveira, D., & Costa, F. (2023).
Prevalence of human leptospirosis in the Americas: a systematic review and meta-analysis.
Revista Panamericana de Salud Publica/Pan American Journal of Public Health, 47, 18.
https://doi.org/10.26633/RPSP.2023.126
Depo, M., Pramono, D., & Aryanto, S. (2019). Evaluasi Program Pencegahan dan Pengendalian
Penyakit Leptospirosis di Kabupaten Bantul Tahun 2017. Jurnal Inovasi Kesehatan, 1(Vol
1, No 1 (2019): Oktober), 110.
Fitriana, V., Ahmad, R. A., & Djasri, H. (2019). Evaluasi manajemen kontrol leptospirosis
berbasis one-health di Kabupaten Boyolali. Berita Kedokteran Masyarakat, 35(8), 283289.
Kesuma, A., Mulyono, A., & Rokhmadi, M. (2022). Potensi Penularan Leptospirosis Dan
Hantavirus Pada Manusia Di Kalimantan Barat. Prosiding Seminar Nasional Biologi X
FMIPA Universitas Negeri Semarang, 72.
Muna, C. N. (2018). Pengembangan Sistem Informasi Surveilans Leptospirosis Degan Sistem
Informasi Geografis Dalam Mendukung Pengendalian Berdasarkan Faktor Risik
Lingkungan di Dinas Kesehatan Kota Semarang. Universitas Diponegoro, 6(April).
Pujiyanti, A., Widjajanti, W., Mulyono, A., & Trapsilowati, W. (2020). Assessment Pengetahuan
dan Perilaku Masyarakat pada Peningkatan Kasus Leptospirosis di Kecamatan Gantiwarno,
Kabupaten Klaten. Jurnal Vektor Penyakit, 14(2), 7382.
https://doi.org/10.22435/vektorp.v14i2.2821
Samekto, M., Hadisaputro, S., Adi, M. S., Suhartono, S., & Widjanarko, B. (2019). Faktor-Faktor
yang Berpengaruh terhadap Kejadian Leptospirosis (Studi Kasus Kontrol di Kabupaten
Pati). Jurnal Epidemiologi Kesehatan Komunitas, 4(1), 27.
https://doi.org/10.14710/jekk.v4i1.4427
Jurnal Sehat Indonesia: Vol. 7, No. 1, Januari 2025 | 432
Sanyasi, R. D. L. R. (2018). Laporan Kasus Kejadian Luar Biasa Leptospirosis Di Magetan, Jawa
Timur. Berkala Ilmiah Kedokteran Duta Wacana, 3(1), 1.
https://doi.org/10.21460/bikdw.v3i1.104
Saraswati, L. D., Nuraini, S., Adi, M. S., & Setyawan, H. (2017). Evaluasi Pelaksanaan Surveilans
Kasus Leptospirosis Di Dinas Kesehatan Kabupaten Boyolali. Unnes Journal of Public
Health, 6(2), 92. https://doi.org/10.15294/ujph.v6i2.13757
Sari, I. Z. R. (2021). Tinjauan Literatur : LEPTOSPIROSIS DI INDONESIA. Majalah
Kesehatan, 8(2), 113121. https://doi.org/10.21776/ub.majalahkesehatan.2021.008.02.7
Sholichah, Z., Wahyudi, B. F., Sianturi, C. L. J., & Astuti, N. T. (2021). Leptospira pada Tikus
dan Badan Air serta Riwayat Penularan Penderita di Daerah Baru Kasus Leptospirosis di
Bantul. Balaba: Jurnal Litbang Pengendalian Penyakit Bersumber Binatang Banjarnegara,
7382. https://doi.org/10.22435/blb.v17i1.2612
Sukma, F. A., Mulida, M., & Sujana, K. S. (2021). Severe Leptospirosis. Cermin Dunia
Kedokteran, 48(11), 353. https://doi.org/10.55175/cdk.v48i11.1556
Wilairatana, P., Kuraeiad, S., Rattaprasert, P., & Kotepui, M. (2021). Prevalence of malaria and
scrub typhus co-infection in febrile patients: a systematic review and meta-analysis.
Parasites and Vectors, 14(1). https://doi.org/10.1186/s13071-021-04969-y
Wulandari, H. S., & Hendrati, L. Y. (2022). Investigasi Kasus Kejadian Luar Biasa Leptospirosis
Di Probolinggo Tahun 2022. Care : Jurnal Ilmiah Ilmu Kesehatan, 10(3), 390400.
https://doi.org/10.33366/jc.v10i3.3739
Zhu, Z., Feng, J., Dong, Y., Jiang, B., Wang, X., & Li, F. (2022). Cerebral infarct induced by
severe leptospirosis-a case report and literature review. BMC Neurology, 22(1), 16.
https://doi.org/10.1186/s12883-022-03021-5