JUSINDO, Vol. 7 No. 1, Januari 2025
p-ISSN: 2303-288X, e-ISSN: 2541-7207
Jurnal Sehat Indonesia: Vol. 7, No. 1, Januari 2025 | 284
Hubungan Tingkat Stres Terhadap Kejadian Sindrom Dispepsia
Fungsional Pada Mahasiswa Preklinik Fakultas Kedokteran
Universitas Mataram
Baiq Pelangi Juwita
1
, Azizatul Adni
2*
, I Putu Diatmika
3
,
Wayan Sulaksmana Sandhi Parwata
4
Universitas Mataram, Indonesia
Email: aziza[email protected]
ABSTRAK
Kata Kunci:
Sindrom Dispepsia
Fungsional; Stres;
Mahasiswa
Dispepsia fungsional merupakan kumpulan gejala seperti sensasi
nyeri di gastroduodenum, rasa terbakar, rasa penuh dan kembung,
mual muntah tanpa adanya kerusakan struktural pada pemeriksaan
fisik, laboratorium, radiologi, dan endoskopi. Dispepsia dapat
disebabkan oleh pola makan, stres, dan pola hidup yang tidak sehat
seperti konsumsi alkohol, merokok, dan kurang olahraga. Penelitian
ini bertujuan untuk mengetahui hubungan tingkat stres terhadap
kejadian sindrom dispepsia fungsional pada mahasiswa pre-klinik
Fakultas Kedokteran Universitas Mataram. Penelitian ini
menggunakan metode cross-sectional dengan teknik pengambilan
sampel simple random sampling. Data dikumpulkan menggunakan
kuesioner. Analisis data dilakukan dengan uji chi-square
menggunakan SPSS versi 25. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
terdapat hubungan signifikan antara tingkat stres dan kejadian
sindrom dispepsia fungsional (p = 0,023). Responden dengan tingkat
stres sedang memiliki frekuensi tertinggi mengalami sindrom
dispepsia fungsional dibandingkan tingkat stres ringan atau berat.
Kesimpulannya, semakin tinggi tingkat stres, semakin besar risiko
terjadinya sindrom dispepsia fungsional pada mahasiswa. Oleh
karena itu, disarankan agar mahasiswa meningkatkan manajemen
stres, menjaga pola makan yang sehat, dan menerapkan pola hidup
yang baik untuk mencegah terjadinya sindrom dispepsia fungsional.
Fakultas juga diharapkan menyediakan program pendukung seperti
konseling psikologis untuk membantu mahasiswa dalam mengelola
stres.
ABSTRACT
Functional dyspepsia is a collection of symptoms such as
painful sensations in the gastroduodenum, burning, fullness
and bloating, nausea and vomiting without structural damage
on physical, laboratory, radiologic and endoscopic
examination. Dyspepsia can be caused by diet, stress, and
unhealthy lifestyle such as alcohol consumption, smoking, and
lack of exercise. This study aims to determine the relationship
between stress levels and the incidence of functional dyspepsia
syndrome in pre-clinical students of the Faculty of Medicine,
University of Mataram. This study used cross-sectional
method with simple random sampling technique. Data were
collected using a questionnaire. The results showed that there
was a significant relationship between stress level and the
incidence of functional dyspepsia syndrome (p = 0.023).
Respondents with moderate stress levels had the highest
Keywords:
Functional Dyspepsia
Syndrome; Stress;
College Students
Jurnal Sehat Indonesia: Vol. 7, No. 1, Januari 2025 | 285
frequency of experiencing functional dyspepsia syndrome
compared to mild or severe stress levels. In conclusion, the
higher the stress level, the greater the risk of functional
dyspepsia syndrome in university students. Therefore, it is
recommended that students improve stress management,
maintain a healthy diet, and implement a good lifestyle to
prevent the occurrence of functional dyspepsia syndrome. The
faculty is also expected to provide support programs such as
psychological counseling to help students manage stress..
Coresponden Author: Azizatul Adni
Artikel dengan akses terbuka dibawah lisensi
Pendahuluan
Seiring perkembangan zaman, tuntutan terhadap kualitas pendidikan semakin
tinggi. Individu dari berbagai kalangan akan saling berjuang untuk menjadi yang terbaik.
Salah satu cara yang dapat dilakukan yakni meneruskan pendidikan ke jenjang yang lebih
tinggi yakni perkuliahan. Mahasiswa perlu beradaptasi dengan berbagai perubahan salah
satunya dalam pola hidup. Pola hidup yang baik sangat diperlukan agar dapat beraktivitas
dengan optimal (Choirunisa & Marheni, 2019). Salah satu pola hidup yang baik dapat
dilakukan dengan mengelola stres. Seseorang yang tidak dapat mengelola stres dapat
berdampak buruk bagi tubuh. Stres dapat menjadi pencetus berbagai penyakit salah
satunya sindrom dispepsia (Wijaya dkk., 2020).
Dispepsia berasal dari Bahasa Yunani yakni dys yang berarti buruk dan pepse’
yang berarti pencernaan (Otero R dkk., 2014). Dispepsia adalah gangguan yang rumit
dan merujuk pada kumpulan gejala seperti rasa nyeri atau ketidaknyamanan di area
gastro-duodenum (epigastrium/ulu hati), sensasi terbakar, rasa penuh dan kembung, rasa
mual atau muntah (Purnamasari, 2017). Dispepsia non-organik atau dispepsia fungsional
ditandai dengan rasa nyeri kronis yang berulang pada perut bagian atas tanpa adanya
kelainan secara struktural/organik/metabolik pada pemeriksaan fisik, laboraturium,
radiologi, dan endoskopi. Dispepsia dapat disebabkan oleh beberapa faktor yakni faktor
diet dan pola hidup. Faktor diet dapat berupa konsumsi makanan berlemak, makanan
pedas, makanan asam, makanan cepat saji, alcohol, teh, kopi. Pola hidup yang tidak sehat
juga dapat mencetuskan gejala-gejala dyspepsia seperti konsumsi alcohol, merokok,
konsumsi obat Non Steroid Anti Inflammatory Drugs, stres, kurangnya olahraga
(Purnamasari, 2017; Rani dkk., 2002).
Kasus dispepsia di dunia sejumlah 15-40% dan setiap tahun penyakit dispepsia ini
mengenai 25% dari populasi dunia. Di Amerika Serikat terdapat 25% dari populasi
terkena dispepsia setiap tahunnya dan 5% diantaranya mendatangi dokter pelayanan
Jurnal Sehat Indonesia: Vol. 7, No. 1, Januari 2025 | 286
primer (Timah, 2021). Kasus dispepsia di Indonesia masih tinggi. Di Aceh kasus
dispepsia sebesar 31,7%, Palembang 35,5%, Medan 9,6%, Pontianak 31,2%, Jakarta
50%, Bandung 32,5% dan Denpasar 46% (Salsabila, 2021). Di NTB, angka kejadian
dispepsia berdasarkan profil kesehatan tahun 2021 berada di urutan ke-6 penyakit
terbanyak di puskesmas dengan kisaran 36.398 kasus dan pada tahun 2022 bertambah
menjadi 56.098 kasus (Dinkes NTB, 2023).
Kriteria nyeri dispepsia dibagi menjadi 2 tipe, yakni tipe nyeri epigastrium dan
tipe distress postprandial. Tipe nyeri epigastrium ditandai dengan rasa nyeri dan rasa
terbakar di epigastrium yang muncul setidaknya sekali dalam seminggu, nyeri tidak
menjalar ke daerah dada atau perut, nyeri tidak hilang setelah buang air besar, dan nyeri
biasanya dapat reda setelah mengkonsumsi makanan. Sedangkan, tipe distress
posprandial ditandai dengan rasa penuh pasca makan dalam porsi biasa dan terjadi
beberapa kali dalam seminggu, rasa cepat makan sehingga porsi makan berkurang, perut
terasa kembung atau mual setelah makan (Purnamasari, 2017).
Stres merupakan ketidakmampuan individu dalam menghadapi berbagai
tantangan yang dapat memengaruhi kesehatan mental, fisik, emosional, dan spiritual serta
berdampak pada kondisi fisik seseorang. Ancaman-ancaman ini dapat disebabkan oleh
pikiran-pikiran yang merusak sehingga membuat keseimbangan terganggu (Putri dkk.,
2022). Menurut WHO, stres merupakan kondisi kecemasan atau tekanan mental yang
timbul akibat situasi yang sulit. Stres merupakan reaksi alami manusia yang dapat
mendorong individu untuk menghadapi tantangan dan risiko. Semua orang merasakan
stres hingga batas tertentu. Namun, reaksi setiap orang terhadap stres berbeda-beda
(WHO, 2023).
Stres dikategorikan menjadi 3 yakni stres ringan, sedang, dan berat. Stres ringan
adalah stres yang dihadapi setiap orang setiap hari, berlangsung dalam beberapa menit
atau jam, dan dapat memotivasi seseorang agar berusaha menjadi lebih baik. Namun, jika
stres ringan berlangsung lama dan memburuk dapat menyebabkan berbagai gangguan
seperti gangguan sirkuit persinyalan neuron. Stres sedang memiliki durasi yang lebih
lama dari stres ringan dan orang yang mengalami stres sedang biasanya mengalami
dampak fisiologis seperti gangguan tidur, sakit perut, otot terasa tegang, dan sebagainya.
Stres berat berlangsung beberapa minggu hingga bulan dan biasanya seseorang yang stres
berat mengalami kesulitan dalam beraktivitas, gangguan hubungan social, sulit tidur, dan
tidak mampu melakukan pekerjaan sederhana (Putri dkk., 2022; Ramanathan &
Desrouleaux, 2022).
Faktor psikologis seperti stres dapat menjadi penyebab terjadinya sindrom
dispepsia. Faktor psikis dan emosi seperti stres dan depresi dapat mempengaruhi
perubahan sekresi asam lambung sehingga mempengaruhi mortalitas dan vaskularisasi
mukosa lambung dan meningkatkan ambang rasa nyeri. Stres juga dapat menyebabkan
gangguan mekanisme hormonal. Gangguan mekanisme hormon ini akan menimbulkan
hiper asimtomatik sistem gastrointestinal yang dapat meningkatkan sekresi asam
lambung. Semakin tinggi tingkat stress, maka akan beresiko mengalami sindrom
dispepsia (Chaidir & Maulina, 2015).
Jurnal Sehat Indonesia: Vol. 7, No. 1, Januari 2025 | 287
Beberapa penelitian telah dilakukan dengan mahasiswa sebagai responden
penelitian dan menjelaskan bahwa mahasiswa rentan mengalami dispepsia fungsional.
Penelitian yang dilakukan oleh Shankar dkk. (2020) menyebutkan adanya kejadian
dispepsia fungsional yang tinggi pada mahasiswa kedokteran tahun ke-3 dan tingkat stres
yang tinggi pada mahasiswa tahun pertama. Penelitian yang dilakukan Huang dkk. (2020)
menjelaskan bahwa frekuensi stres mahasiswa disebabkan oleh kehidupan sehari-hari,
kehidupan sosial, dan jadwal harian pada mahasiswa tahun pertama. Namun, stres yang
disebabkan oleh akademik dan keluarga tidak memiliki pengaruh yang signifikan.
Berdasarkan penjelasan di atas, stres menjadi salah satu penyebab terjadinya
sindrom dyspepsia. Hal tersebut dapat disebabkan oleh meningkatnya aktivitas
mahasiswa yang dapat mempengaruhi pola makan mereka. Pola makan tidak teratur,
sering tidak makan pagi atau makan siang, konsumsi makanan yang tidak sehat yang
dapat mempengaruhi kesehatan tubuh terutama sistem pencernaan. Selain itu, tuntutan
dari kehidupan akademik maupun sosial dapat memberi tekanan yang melampaui
kemampuan mahasiswa yang dapat mengakibatkan distress pada mahasiswa baik dalam
bentuk kelelahan fisik maupun emosional. Kondisi tersebut dapat menimbulkan berbagai
gangguan kesehatan termasuk gangguan sistem pencernaan (Octaviana dkk., 2021;
Retno, 2022).
Berdasarkan hal tersebut, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian untuk
mngetahui hubungan tingkat stres dan kejadian sindrom dyspepsia fungsional pada
mahasiswa pre-klinik Fakultas Kedokteran Universitas Mataram. Penelitian ini
didasarkan oleh angka kejadian orang yang mengalami gangguan sistem pencernaan
terutama sindrom dispepsia meningkat di Nusa Tenggara Barat. Selain itu, tuntutan
akademik maupun non-akademik yang dialami oleh mahasiswa dapat menimbulkan
distress pada mahasiswa sehingga dapat menyebabkan gangguan pada system
pencernaan, Maka dari itu penting untuk dilakukan penelitian supaya mahasiswa Fakultas
Kedokteran Universitas Mataram lebih memperhatikan kesehatan dan memodifikasi pola
hidup menjadi lebih baik.
Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian analitik observasional dengan metode cross-
sectional. Penelitian dilakukan di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas
Mataram dari bulan November hingga Maret 2024. Sampel penelitian sebanyak 252
orang dipilih menggunakan teknik simple random sampling dari mahasiswa angkatan
2021 hingga 2023.
Kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah mahasiswa pre-klinik Fakultas
Kedokteran Universitas Mataram yang aktif mengikuti kegiatan perkuliahan, bersedia
menjadi responden, dan mengisi kuesioner secara lengkap. Kriteria eksklusi mencakup
mahasiswa yang memiliki riwayat gangguan gastrointestinal organik yang telah
terdiagnosis sebelumnya dan mahasiswa yang tidak bersedia mengikuti penelitian.
Prosedur pengambilan data dimulai dengan sosialisasi kepada responden,
pembagian kuesioner terkait tingkat stres dan gejala sindrom dispepsia fungsional, serta
Jurnal Sehat Indonesia: Vol. 7, No. 1, Januari 2025 | 288
pengumpulan kuesioner yang telah diisi. Data tingkat stres diukur menggunakan
instrumen valid yang telah terstandarisasi, sementara data kejadian dispepsia fungsional
diperoleh melalui self-report berdasarkan gejala yang dialami.
Analisis data dilakukan menggunakan uji statistik chi-square untuk menguji
hubungan antara tingkat stres dan kejadian sindrom dispepsia fungsional. Pengolahan
data dilakukan menggunakan perangkat lunak SPSS versi 25 dengan tingkat signifikansi
α = 0,05.
Hasil Dan Pembahasan
Analisis Univariat
Karakteristik Responden
Tabel 1. Distribusi responden berdasarkan karakteristik pada mahasiswa pre klinik Fakultas
Kedokteran Universitas Mataram
Variabel
Kategori
Jumlah (n=252)
Frekuensi
Persentase (%)
Usia
17 tahun
9
4%
18 tahun
40
16%
19 tahun
58
23%
20 tahun
85
34%
21 tahun
49
19%
22 tahun
9
4%
Jenis Kelamin
Laki-laki
75
30%
Perempuan
177
70%
Angkatan
Angkatan 2021
103
41%
Angkatan 2022
65
26%
Angkatan 2023
84
33%
Berdasarkan Tabel 1, terungkap bahwa partisipan yang mengisi kuesioner adalah
mahasiswa tingkat awal di Fakultas Kedokteran Universitas Mataram, dengan rentang
usia antara 17 hingga 22 tahun, di mana jumlah terbanyak terdapat pada usia 20 tahun
yang mencapai 85 orang (34%). Dari segi jenis kelamin, mayoritas responden adalah
perempuan, dengan total 177 orang (70%). Dalam hal angkatan, peserta terbanyak berasal
dari angkatan 2021, yaitu sebanyak 103 orang (41%).
Stress
Tabel 2. Distribusi responden berdasarkan tingkat stres pada mahasiswa pre-klinik
Fakultas Kedokteran Universitas Mataram
Frekuensi
Persentase %
72
29%
168
67%
11
4%
252
100%
Berdasarkan Tabel 1.2 diketahui hasil univariat responden dengan tingkat stres sedang
memiliki frekuensi tertinggi yaitu 168 orang (67%), tingat stres rendah sebanyak 72 orang
(29%), dan tingkat stres tinggi sebanyak 11 orang (4%).
Jurnal Sehat Indonesia: Vol. 7, No. 1, Januari 2025 | 289
Sindrom Dispepsia Fungsional
Tabel 3. Distribusi responden berdasarkan kejadian sindrom dispepsia fungsional pada
mahasiswa pre-klinik Fakultas Kedokteran Universitas Mataram
Sindrom Dispepsia
Fungsional
Frekuensi
Persentase %
Negatif
186
74%
Positif
66
26%
Total
252
100%
Berdasarkan Tabel 3 diketahui hasil univariat responden yang negatif sindrom
dispepsia fungsional sebanyak 186 orang (74%), sedangkan yang positif sindrom
dispepsia fungsional sebanyak 66 orang (26%).
Analisis Bivariat
Tabel 4. Distribusi responden dengan tingkat stres dan kejadian sindrom dispepsia fungsional pada
mahasiswa pre-klinik Fakultas Kedokteran Universitas Mataram
Tingkat Stres
Sindrom Dispepsia Fungsional
Negatif
Positif
Total
p-value
Ringan
61
11
72
0,023
Sedang
119
50
169
Berat
6
5
11
Total
186
66
252
Berdasarkan Tabel 4 diketahui hasil bivariat diperoleh nilai p-value 0,023 < 0,05,
yang artinya terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat stres dan sindrom dispepsia
fungsional pada mahasiswa pre klinik Fakultas Kedokteran Universitas Mataram.
Dari hasil penelitian, terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat stres dan
sindrom dispepsia fungsional pada mahasiswa pre klinik Fakultas Kedokteran Universitas
Mataram. Hasil tersebut membuktikan bahwa secara statistik ada hubungan antara tingkat
stres dengan kejadian sindrom dispepsia fungsional. Tingkat stres dalam penelitian ini
dikategorikan menjadi 3 yaitu tingkat stres ringan, sedang, dan berat. Frekuensi stres
terbanyak yang dialami oleh mahasiswa pre klinik Fakultas Kedokteran Universitas
Mataram adalah kategori stres sedang dengan jumlah 168 orang (67%) dan jumlah
mahasiswa yang mengalami kejadian sindrom dispepsia fungsional sebanyak 50 orang.
Stres ringan dialami oleh 72 orang dengan jumlah mahasiswa yang mengalami sindrom
dyspepsia fungsional yakni 11 orang. Stres berat dialami 6 orang dengan jumlah
mahasiswa yang mengalami sindrom dyspepsia berjumlah 5 orang. Hasil tersebut
membuktikan bahwa semakin berat tingkat stress yang dialami mahasiswa, maka potensi
mahasiswa untuk mengalami sindrom dispepsia fungsional juga semakin tinggi. Hasil ini
juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Ikhsan dkk. (2020) dan Chaidir (2015)
yang menyebutkan bahwa adanya hubungan antara tingkat stres dan sindrom dispepsia.
Faktor psikis seperti stress dan depresi dapat mempengaruhi sistem gastrointestinal.
Semakin tinggi tingkat stress, maka akan beresiko mengalami gangguan sistem
gastrointestinal (Chaidir & Maulina, 2015). Stres berat dan kronis dapat menimbulkan
Jurnal Sehat Indonesia: Vol. 7, No. 1, Januari 2025 | 290
penyakit somatik yang disebabkan oleh gangguan somatoform. Gangguan somatoform
adalah kelompok gangguan yang menimbulkan gejala fisik seperti nyeri, mual, pusing
yang tidak dapat ditemukan penjelasan medis yang adekuat. Gangguan ini dapat
disebabkan oleh faktor psikososial dan faktor neuropsikologis. Selain itu, terdapat faktor
lainnya seperti karakter, stres, faktor psikologis, kepekaan genetic dan organ seseorang,
serta faktor konflik emosional dapat berkontribusi terjadinya suatu penyakit. Gangguan
psikologis juga memengaruhi perjalanan ataupun hasil dari suatu kondisi medis tertentu.
Pengaruh tersebut dapat berupa suatu gangguan atau hambatan dalam pengobatan,
meningkatkan resiko kesehatan seseorang, mencetuskan atau mengeksaserbasi suatu
gejala dan kondisi umum dengan ditimulkannya respon fisiologis akibat stres (Kaplan
dkk., 2010).
Faktor psikologi seperti kecemasan dapat memengaruhi sistem saraf pusat,
khususnya saraf vagus yang berfungsi memberikan sinyal ke lambung, melalui proses
peningkatan pelepasan asetilkolin, gastrin, dan histamin yang bisa mengakibatkan
keluhan dispepsia. Gangguan pada jalur endokrin yang melibatkan hubungan
hipotalamus-pituitari-adrenal dapat menyebabkan masalah dalam sekresi lambung yang
meningkatkan kadar kortisol. Kenaikan kadar kortisol ini akan memicu produksi asam
lambung dan dapat mengganggu prostaglandin E. Prostaglandin E adalah enzim yang
menghambat adenil siklase pada sel-sel parietal dan melindungi lapisan lambung.
Peningkatan asam lambung sebagai faktor agresif dan penurunan prostaglandin E sebagai
faktor perlindungan ini menyebabkan ketidakseimbangan yang mengarah pada gejala
dispepsia (Salsabila, 2021). Kortisol juga akan melepaskan katekolamin seperti epinefrin
dan norepinefrin yang akan mempengaruhi system gastrointestinal seperti pengosongan
lambung tertunda, merusak mukosa gastrointestinal, rentan terhadap infeksi dan
menghambat penyerapan nutrisi (Chu dkk., 2021).
Kesimpulan
Pada variabel stres didapatkan hasil uji Chi Square dengan nilai p = 0,023 < α
(0,05) yang berarti terdapat hubungan antara stres dengan kejadian sindrom dispepsia
fungsional pada mahasiswa pre-klinik Fakultas Kedokteran Universitas Mataram.
Daftar Pustaka
Chaidir, R., & Maulina, H. (2015). Hubungan Tingkat Stres Dengan Kejadian Sindrom
Dispepsia Fungsional Pada Mahasiswa Semester Akhir Prodi S1 Keperawatan Di
Stikes Yarsi Sumbar Bukittinggi. Jurnal Ilmu Kesehatan’Afiyah, 2(2), 16.
Choirunisa, N. L., & Marheni, A. (2019). Perbedaan motivasi berpretasi dan dukungan
sosial teman sebaya antara mahasiswa perantau dan non perantau di Fakultas
Kedokteran Universitas Udayana. Jurnal Psikologi Udayana, 6(1), 2130.
Chu, B., Marwaha, K., Sanvictores, T., & Ayers, D. (2021). Physiology, Stress Reaction.
StatPearls Publishing. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK541120/
Dinkes NTB. (2023). Profil Kesehatan Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2022. Dinas
Kesehatan Provinsi Nusa Tenggara Barat.
Jurnal Sehat Indonesia: Vol. 7, No. 1, Januari 2025 | 291
Huang, Z., Wang, K., Duan, Y., & Yang, G. (2020). Correlation between lifestyle and
social factors in functional dyspepsia among college freshmen. Journal of
International Medical Research, 48(8). https://doi.org/10.1177/0300060520939702
Ikhsan, M. H., Widya Murni, A., & Rustam, E. R. (2020). Hubungan Depresi, Ansietas,
dan Stres dengan Kejadian Sindrom Dispepsia pada Mahasiswa Tahun Pertama di
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas Sebelum dan Sesudah Ujian Blok. Jurnal
Kesehatan Andalas, 9(1S). https://doi.org/10.25077/jka.v9i1S.1158
Kaplan, H. I., Sadock, B. J., & Grebb, J. A. (2010). Gangguan Psikosomatik. Sinopsis
Psikiatri : Ilmu Pengetahuan Perilaku dan Psikiatri Klinis (II, pp. 292–303).
Octaviana, E. S. L., Noorhidayah, N., & Rachman, A. (2021). Hubungan Pola Makan dan
Stres dengan Kejadian Dispepsia pada Siswa di SMP Negeri 2 Karang Intan. Jurnal
Kesehatan Indonesia, 11(2), 7681.
Otero R, W., Zuleta, M. G., & Otero P, L. (2014). Update on Approaches to Patients with
Dyspepsia and Functional Dyspepsia. Revista Colombiana de Gastroenterología,
29(2), 132138.
Purnamasari, L. (2017). Faktor Risiko, Klasifikasi dan Terapi Sindrom Sispepsia. Cermin
Dunia Kedokteran, 44(12).
Putri, U. N. H., Nur’aini, N., Sari, A., & Mawaadah, S. (2022). Modul Kesehatan Mental
(Cetakan Pertama). Penerbit CV. Azka Pustaka.
Ramanathan, R., & Desrouleaux, R. (2022). Introduction: The Science of Stress. The Yale
Journal of Biology and Medicine, 95(1), 12.
Rani, A. A., Manan, C., Djojoningrat, D., Kolopaking, M. S., Makmun, D., Abdullah, M.,
& Syam, A. F. (2002). Dispepsia : Sains Dan Aplikasi Klinik. In Pusat Informasi
dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia (pp. 5159). Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Retno, I. (2022). Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Pola Makan
Mahasiswa Kesehatan Masyarakat Institut Kesehatan Indonesia. Jurnal Bidang
Kesehatan, 1(1), 1018.
Salsabila, A. (2021). Kecemasan dan Kejadian Dispepsia Fungsional. Indonesian Journal
of Nursing and Health Sciences, 2(2), 5764.
https://doi.org/10.37287/ijnhs.v2i2.306
Shankar, P., Mandhan, N., Zaidi, S. M. H., Choudhry, M. S., & Kumar, A. (2020).
Relationship of functional dyspepsia with mental and physical stress. Annals of
Psychophysiology, 7, 2530. https://doi.org/10.29052/2412-3188.v7.i1.2020.25-30
Timah, S. (2021). Hubungan Pola Makan pada Pasien Dispepsia. Jurnal Ilmiah
Kesehatan Doagnosis, 16(1), 4753.
https://jurnal.stikesnh.ac.id/index.php/jikd/article/view/446
WHO. (2023, Februari 21). Stress. World Health Organization.
https://www.who.int/News-Room/Questions-and-Answers/Item/Stress
Wijaya, I., Nur, N. H., & Sari, H. (2020). Hubungan Gaya Hidup Dan Pola Makan
Terhadap Kejadian Syndrom Dispepsia Di Rumah Sakit Bhayangkara Kota
Makassar. Jurnal Promotif Preventif, 3(1), 5868.
https://doi.org/10.47650/jpp.v3i1.149