JUSINDO, Vol. 7 No. 1, Januari 2025
p-ISSN: 2303-288X, e-ISSN: 2541-7207
Jurnal Sehat Indonesia: Vol. 7, No. 1, Januari 2025 | 8
Pengauh Indeks Massa Tubuh ( IMT ) terhadap Hipertensi: Literature
Review
St. Islami Rahmadini
1*
, Muh. Jabal Nur
2
, Meriam Malinda
3
Universitas Muslim Indonesia, Makassar, Indonesia
1
Rs Ibnu Sina, Makassar, Indonesia
2
RSUD dr. La Palaloi Maros, Indonesia
3
ABSTRAK
Kata Kunci:
Hipertensi merupakan salah satu penyakit kronis yang
mempengaruhi lebih dari 1 miliar populasi di seluruh dunia. Indeks
Massa Tubuh (IMT) dikenal sebagai faktor risiko utama terjadinya
hipertensi. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengevaluasi
pengaruh IMT terhadap tekanan darah. Metode penelitian yang
digunakan dalam penelitian ini adalah tinjauan pustaka. Studi ini
melibatkan pengumpulan data dari jurnal, buku, dan sumber
informasi lain yang relevan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
terdapat korelasi signifikan antara IMT dan tekanan darah. Berikut
adalah beberapa hasil penelitian yang relevan. Dari hasil penelitian
yang dilakukan, dapat disimpulkan bahwa hipertensi memiliki
hubungan yang sangat berkaitan dengan obesitas. IMT terutama
pada kategori obesitas memiliki hubungan yang signifikan dengan
kejadian hipertensi. Prevalensi kejadian hipertensi pada jenis
kelamin perempuan memiliki risiko lebih tinggi dengan persentase
sebesar 60% dibandingkan dengan laki-laki sebesar 40%. Usia juga
menjadi faktor risiko terjadinya hipertensi, dengan risiko meningkat
mulai dari usia di atas 36 tahun. Dengan demikian, penting untuk
melakukan pengelolaan berat badan yang berkelanjutan untuk
mengurangi risiko hipertensi dan penyakit kronis lainnya. Perubahan
pola makan dan aktivitas fisik yang seimbang merupakan strategi
penting dalam pencegahan dan pengendalian hipertens.
Hipertensi; tekana darah;
indeks massa tubuh (IMT);
obesitas
ABSTRACT
Keywords:
Hypertension is a chronic disease that affects more than 1
billion people worldwide. Body Mass Index (BMI) is
recognized as a major risk factor for hypertension. The
purpose of this study was to evaluate the effect of BMI on
blood pressure. The research method used in this study was a
literature review. The study involved collecting data from
journals, books, and other relevant sources of information.
The results showed that there is a significant correlation
between BMI and blood pressure. Here are some relevant
research results. From the results of the research conducted,
it can be concluded that hypertension has a strong
relationship with obesity. BMI, especially in the obese
category, has a significant relationship with the incidence of
hypertension. The prevalence of hypertension in female
gender has a higher risk with a percentage of 60% compared
to men at 40%. Age is also a risk factor for hypertension, with
the risk increasing from the age of over 36 years. Thus,
ongoing weight management is important to reduce the risk of
hypertension and other chronic diseases. Dietary changes and
Hypertension; blood pressure;
body mass index (BMI); obesity
Jurnal Sehat Indonesia: Vol. 7, No. 1, Januari 2025 | 9
balanced physical activity are important strategies in the
prevention and control of hypertension.
Coresponden Author: St. Islami Rahmadini
Artikel dengan akses terbuka dibawah lisensi
Pendahuluan
Tekanan darah (TD) diatur oleh beberapa sistem neurohormonal yang bertanggung jawab
untuk memastikan perfusi jaringan dan organ yang tepat (Litwin & Kułaga, 2021). Hipertensi
adalah keadaan di mana tekanan darah meningkat melebihi batas normal dan sering disebut
sebagai "The Silent Killer" karena gejala awalnya biasanya tidak tampak. Hipertensi merupakan
kontributor utama beban penyakit global, mempengaruhi lebih dari 1 miliar populasi di seluruh
dunia dengan prevalensi yang terus meningkat (Susanto, 2020)
,
(Dzau & Hodgkinson, 2023).
Berbagai penelitian sebelumnya telah mengungkapkan salah satu faktor utama terjadinya
kejadian hipertensi terjadi karena tingginya indeks massa tubuh (IMT). IMT adalah alat
sederhana untuk mengukur status gizi seseorang, terutama terkait dengan kekurangan atau
kelebihan berat badan (Khalid et al., 2020).
Penelitian lain juga menunjukkan bahwa hubungan IMT dan tekanan darah memiliki
prevalensi yang terus meningkat di seluruh dunia, dan penelitian epidemiologi juga
menunjukkan korelasi positif terjadi antara keduanya. Penigkatan IMT yang mengarah ke
obesitas di seluruh dunia meningkat hampir dua kali lipat sejak tahun 1980 dan diperkirakan
saat ini menunjukkan bahwa >1,4 miliar orang dewasa mengalami kelebihan berat badan atau
obesitas. Beberapa negara melaporkan tingkat obesitas pada orang dewasa melebihi 50% pada
pria di Tonga dan pada wanita di Kuwait, Kiribati, Negara Federasi Mikronesia, Libya, Qatar,
Tonga, dan Samoa (Hall et al., 2019).
Menurut hasil Riskesdas 2018, peningkatan kasus hipertensi di Indonesia juga disertai
dengan kenaikan proporsi penduduk yang obesitas. Sebuah penelitian menggambarkan bahwa
penyebab kelebihan berat badan dan obesitas sangatlah rumit. Beberapa aspek tampaknya
memainkan peranan penting, seperti mengonsumsi terlalu banyak kalori dan kurang latihan
fisik. Melakukan perubahan jangka panjang pada faktor risiko seperti pola makan dan aktivitas
fisik merupakan hal yang sangat menantang (Bann et al., 2021; Tiara, 2020).
Perubahan lain yang mungkin juga berdampak pada IMT dan tekanan darah termasuk
perubahan sekuler pada komposisi tubuh. IMT yang tinggi mungkin mencerminkan lebih
banyak massa lemak visceral, dan karena tingginya lemak dibandingkan massa otot
diperkirakan berdampak pada tekanan darah tinggi, asosiasi tersebut mungkin akan semakin
kuat seiring berjalannya waktu (Bann et al., 2021). Prevalensi obesitas telah meningkat di
seluruh dunia. Obesitas merupakan faktor risiko yang menentukan dalam banyak penyakit
kronis termasuk hipertensi. Obesitas berdasarkan ukuran IMT merupakan penyebab utama
gangguan ini (Khalid et al., 2020; Landi et al., 2019). Oleh karena itu, penting untuk melakukan
pengelolaan berat badan yang berkelanjutan agar dilakukan secara aktif. Tujuan dari penelitian
ini adalah untuk mengevaluasi pengaruh IMT terhadap tekanan darah.
Jurnal Sehat Indonesia: Vol. 7, No. 1, Januari 2025 | 10
Metode Penelitian
Metode penelitian yang diterapkan dalam studi ini adalah Tinjauan Pustaka atau
Literature Review. Metode ini digunakan untuk mengumpulkan data atau sumber informasi
terkait topik tertentu, yang meliputi jurnal, buku, dan sumber pustaka lainnya. Kata kunci yang
dipakai adalah “Indeks Massa Tubuh” dan “Hipertensi”. Artikel yang dipilih harus memenuhi
kriteria inklusi, yaitu diterbitkan dalam 5 tahun terakhir (2019-2024), tersedia dalam bahasa
Indonesia atau Inggris, dan merupakan artikel asli (artikel penelitian). Penelusuran dilakukan
melalui sumber online seperti Google Scholar, Pubmed, dan ScienceDirect.
Hasil dan Pembahasan
Hasil
Setelah meneliti artikel ilmiah melalui Google Scholar, PubMed, dan ScienceDirect,
ditemukan 10 artikel yang memenuhi kriteria inklusi dari total 10.410 artikel klinis dan
penelitian yang dipublikasikan antara tahun 2019 hingga 2024, sebagai berikut:
Tabel 1 Daftar artikel
No
Penulis
Tahun
Judul Artikel
Lokasi
Hasil
Kesimpulan
1
Alvin
Hartanto
Kurniawan,
Benedictus
Hanjaya
Suwandi
2021
Correlation
between Body
Mass Index to
Hypertension in
A Rural Area in
East Jawa
Nganjuk,
Jawa
Timur
Penelitian ini
melibatkan 201
partisipan,
dengan distribusi
65,7%
perempuan dan
34,3% laki-laki,
serta usia median
59 tahun. Temuan
menunjukkan
bahwa lebih dari
60% peserta
mengalami
kelebihan berat
badan dan
obesitas. Analisis
menggunakan uji
Spearman
mengungkapkan
bahwa IMT
memiliki korelasi
yang signifikan
secara statistik
dengan SBP
(p=0.029), DBP
(p=0.016), dan
Mean Arterial
Pressure (MAP)
(p=0.008).
IMT
mempunyai
korelasi positif
dengan tekanan
darah, dan
obesitas banyak
terjadi pada
penduduk
pedesaan.
2
Terdapat
hubungan yang
signifikan
antara IMT dan
hipertensi pada
responden yang
menderita
hipertensi.
Jurnal Sehat Indonesia: Vol. 7, No. 1, Januari 2025 | 11
3
Hubungan
antara IMT dan
tekanan darah
sistolik
menunjukkan
signifikansi
dengan p-value
= 0,05,
sementara
hubungan
antara IMT dan
tekanan darah
diastolik
menunjukkan
hasil negatif (p
≥ 0,05) pada
orang dewasa
di Desa Ponain.
4
Nieky greyti
dien,
mulyadi,rina
m. kundre
2019
Hubungan
Indeks Massa
Tubuh (Imt)
Dengan
Tekanandarah
Pada Penderita
Hipertensi Di
Poliklinik
Hipertensi Dan
Nefrologi Blu
Rsup Prof. Dr.R.
D. Kandou
Manado
Poliklinik
Hipertensi
Dan
Nefrologi
Blu Rsup
Prof. Dr.R.
D. Kandou
Manado
Pengujian
statistik pada
darah sistolik
(p=0,033) dan
diastolik
(p=0,006)
menunjukkan
bahwa ada
hubungan indeks
massa tubuh
dengan tekanan
darah. Nilai
korelasi
Spearman
menunjukkan
bahwa arah
korelasi positif
dengan kekuatan
hubungan lemah
Terdapat
hubungan IMT
dengan tekanan
darah pada
penderita
hipertensi
5
Putu
Ardhyana
Yogeswara1,
EtyRetno
Setyowati2,
Siti
Ruqayyah3,
Deny Sutrisna
Wiatma
2023
Pengaruh Indeks
Massa Tubuh
(Imt) Dan Kadar
Kolesterol
Dengan
Hipertensi Di
Puskesmas
Gerung
Kabupatenlomb
ok Barat Nusa
Tenggara Barat
Puskesmas
Gerung
Kabupaten
Lombok
Barat,
Nusa
Tenggara
Barat
Hasil penelitian
pada 30
responden,
terdapat
hubungan yang
signifikan antara
IMT dengan
hipertensi
dengan nilai p-
values 0,000 (p-
value <0,05) dan
nilai kolerasi
0,671.
Terdapat
hubungan
yang
signifikan
antara IMT
dengan
hipertensi
6
Getu Gamo
Sagaro,
Marzio
Caniob,
Franceso
Amenta
2020
Correlation
between body
mass index and
blood pressure in
seafarer
Pelaut di
Kapal
Induk
Italia
Dari total 603
pelaut yang
diteliti, 44,4%
dan 55,6%
masing-masing
merupakan
perwira dan non-
perwira. Rata-
rata SBP, DBP,
dan IMT secara
Rata-rata
tingkat tekanan
darah
meningkat
seiring dengan
peningkatan
IMT. Oleh
karena itu,
perhatian harus
diberikan pada
Jurnal Sehat Indonesia: Vol. 7, No. 1, Januari 2025 | 12
signifikan lebih
tinggi pada non-
petugas
dibandingkan
petugas. IMT
berkorelasi
positif (p <0,01)
dengan SBP (r =
0,336) dan DBP
(r = 0,344).
Sekitar 39% dan
16,6% subjek
penelitian
masing-masing
menderita
prahipertensi dan
hipertensi. Risiko
terjadinya
prahipertensi dan
hipertensi lebih
tinggi pada
penderita obesitas
program
pengelolaan
berat badan
sehubungan
dengan
pencegahan
dan
pengendalian
tekanan darah
tinggi.
7
Deeksha
Kaushik,
Gurjeet Kaur
Chawla
2019
Correlation
between Blood
Pressure and
Body Mass
Index among
University
Students
Mahasisw
a di India
Dari 100 subjek
yang
berpartisipasi
dalam penelitian,
rata-rata usia
responden 24% di
bawah 20 tahun
dan 76% subjek
di atas 20 tahun
dengan
21,38±2,2282,
rata-rata IMT dari
total populasi
adalah
24.842±4,3837
dan rerata
tekanan darah
sistolik (mmHg)
dan diastolik
(mmHg) adalah
124,45±14,05
dan 80,01±
7,03741.
Terdapat
hubungan
positif yang
signifikan
antara tekanan
darah dan IMT
dengan nilai
kurang dari
0,05, Pada
subjek obesitas
dan kelebihan
berat badan
ditemukan
tekanan darah
tinggi dan
sebagian besar
subjek IMT
normal
ditemukan
tingkat tekanan
darah normal.
8
Amalia
Rahma,
Peggy
Setyaning
Baskari
2019
Pengukuran
Indeks Massa
Tubuh, Asupan
Lemak, Dan
Asupan
Natrium
Kaitannya
Dengan
Kejadian
Hipertensi
Pada
Kelompok
Desa
Japanan
Kecamata
n Gudo
Kabupaten
Jombang.
Hubungan
indeks massa
tubuh dengan
kejadian
hipertensi
didapatkan nilai
p-value 0,034
(p<0,05). Dari
hasil tersebut
dapat diartikan
bahwa terdapat
hubungan yang
signifikan antara
indeks massa
Terdapat
hubungan yang
signifikan
antara indeks
massa tubuh
dengan
kejadian
hipertensi
Jurnal Sehat Indonesia: Vol. 7, No. 1, Januari 2025 | 13
Dewasa Di
Kabupaten
Jombang
tubuh dengan
kejadian
hipertensi.
9
Wenli Zhang,
Kun He, Hao
Zhao, Xueqi
Hu
2021
Association of
body mass index
and waist
circumference
with high blood
pressure in older
adults
Xinzheng,
Tiongkok
Rasio odds (OR)
dengan interval
kepercayaan (CI)
95% dari
peningkatan IMT
1 kg/m2 untuk
tekanan darah
tinggi adalah
1,084 (1,080
1,087). Analisis
multivariabel
menunjukkan
risiko tekanan
darah tinggi
meningkat tajam
dengan
peningkatan IMT
≥25 kg/m2.
Peningkatan
prevalensi
hipertensi pada
lansia
berkorelasi
dengan
peningkatan
IMT
10
Hasan
Husein,
Fadime
Ustuner
2020
Prevalence of
hypertension and
its association
with body mass
index and waist
circumference
among
adolescents in
Turkey: A cross-
sectional study
Turki
Tingkat
prevalensi pra-
hipertensi dan
hipertensi
masing-masing
sebesar 11,2%
dan 14,8%.
Remaja yang
mengalami
obesitas memiliki
prevalensi
hipertensi yang
lebih tinggi
dibandingkan
dengan remaja
dengan berat
badan normal
(masing-masing
41,6% dan 15,5%
berbanding
6,2%). Setelah
penyesuaian
status IMT
korelasi
signifikan
diamati antara
kelebihan berat
badan/obesitas
dan hipertensi.
Terdapat
hubungan yang
signifikan
antara
kelebihan berat
badan/obesitas
dan pra-
hipertensi/hiper
tensi di
kalangan
remaja pelajar
di Turki
Obesitas adalah salah satu masalah kesehatan global yang mengancam dunia, baik di
negara maju maupun berkembang. Ini dibuktikan oleh lebih dari 1 miliar penderita obesitas di
seluruh dunia, termasuk 650 juta orang dewasa, 340 juta remaja, dan 39 juta anak-anak.
Menurut Riset Kesehatan Dasar tahun 2018, tingkat obesitas pada orang dewasa di Indonesia
saat ini mencapai 21,8 persen (Kementerian Kesehatan, 2022). Jika laju prevalensi obesitas di
Jurnal Sehat Indonesia: Vol. 7, No. 1, Januari 2025 | 14
Indonesia tidak dikendalikan, hal ini akan berdampak serius pada tingkat kesehatan masyarakat
dan menimbulkan konsekuensi sosial ekonomi yang signifikan serta cenderung meningkat (Az-
Zahra et al., 2022; Nugroho, 2020).
Gaya hidup yang tidak sehat merupakan salah satu faktor yang berkontribusi terhadap
terjadinya obesitas (Tiara, 2020). Untuk menentukan tingkat obesitas, alat yang paling sering
digunakan adalah Indeks Massa Tubuh (IMT) yang dihitung berdasarkan berat dan tinggi
badan. Kriteria IMT menurut organisasi kesehatan dunia (WHO) tercantum pada gambar 1
(Pratiwi et al., 2022).
Gambar 1 Kriteria indeks massa tubuh menurut WHO
Kelebihan berat badan bisa menjadi salah satu faktor penyebab penyakit, termasuk
hipertensi. Studi Framingham menemukan bahwa peningkatan berat badan sebesar 15% dapat
menyebabkan kenaikan tekanan sistolik sebesar 18%. Individu dengan kelebihan berat badan,
masuk dalam kategori overweight, dengan peningkatan berat badan sebesar 20% memiliki
risiko delapan kali lipat lebih tinggi untuk mengalami hipertensi. Menurut Herdiani (2019),
IMT memiliki pengaruh besar terhadap kejadian hipertensi, di mana IMT yang berlebihan
dikaitkan dengan risiko hipertensi yang lebih tinggi dibandingkan dengan IMT dalam rentang
normal. Studi pada beragam populasi di seluruh dunia menunjukkan bahwa hubungan antara
IMT, TD sistolik dan TD diastolik hampir linier (Herdiani, 2019).
Studi klinis menunjukkan bahwa mempertahankan IMT <25 kg/m2 efektif dalam
pencegahan primer hipertensi dan penurunan berat badan mengurangi tekanan darah pada
sebagian besar subjek hipertensi. Meskipun terdapat bukti mengesankan yang menunjukkan
peran utama penambahan berat badan yang berlebihan dalam meningkatkan tekanan darah,
tidak semua orang yang mengalami obesitas menderita hipertensi. Namun jelas bahwa kenaikan
berat badan berlebih menggeser distribusi frekuensi tekanan darah ke tingkat yang lebih tinggi
sehingga meningkatkan kemungkinan bahwa tekanan darah seseorang akan tercatat dalam
kisaran hipertensi (Gambar 2). Oleh karena itu, beberapa orang yang mengalami obesitas akan
memiliki tekanan darah lebih rendah dari 140/90 mm Hg, tingkat yang biasanya digunakan
untuk menunjukkan hipertensi.(Hall et al., 2019)
Jurnal Sehat Indonesia: Vol. 7, No. 1, Januari 2025 | 15
Gambar 2 Pengaruh pertambahan berat badan menggeser distribusi frekuensi
tekanan darah ke arah yang lebih tinggi.
Hipertensi merupakan salah satu penyebab utama kematian di dunia, bertanggung jawab
atas lebih dari 10,4 juta kematian setiap tahun. Selain itu, hipertensi adalah salah satu penyebab
utama kecacatan global, dengan 49% penyakit jantung koroner dan 62% kasus stroke terkait
dengan kondisi ini. Pada tahun 2019, hipertensi memengaruhi 1,28 miliar orang di seluruh
dunia, dengan 1 dari 3 orang dewasa menderita hipertensi. Prevalensi hipertensi kini lebih
banyak ditemukan di negara berkembang, dengan perkiraan 349 juta penderita di negara maju
dan 1,04 miliar di negara berkembang (Bagus Tri Saputra et al., 2023).
Hipertensi dipengaruhi oleh tekanan darah, yang dikendalikan oleh beberapa faktor,
yaitu: 1) pengaturan volume darah, 2) resistensi pembuluh darah yang diatur oleh sistem saraf
pusat dan sistem saraf parasimpatis, serta 3) irama sirkadian yang berkaitan dengan sistem
RAA. Menurut pedoman ACC/AHA, tekanan darah dibagi menjadi beberapa kategori
sebagaimana dijelaskan pada gambar 3 (Aditya et al., 2023).
Gambar 3 Tekanan Darah berdasarkan ACC/AHA
Gambar 4 Tekanan Darah berdasarkan ESC/ESH
Jurnal Sehat Indonesia: Vol. 7, No. 1, Januari 2025 | 16
Untuk mendiagnosa hipertensi diperlukan pengukuran tekanan darah dalam kondisi
yang optimal. Selain itu, pasien juga harus duduk di kursi dengan rileks setidaknya selama 5
menit. Pada saat mendiagnosa hipertensi diperlukan >2x pembacaan tekanan darah pada >2x
pemeriksaan tekanan darah. Menurut pedoman ESC/ESH seseorang dikatakan terdiagnosa
hipertensi apabila pada >2x pemeriksaan tekanan darah didapatkan tekanan sistolik >139
mmHg dan pada tekanan diastolik >89 mmHg. Sedangkan menurut pedoman ACC/AHA
seseorang dikatakan terdiagnosa hipertensi apabila pada >2x pemeriksaan tekanan darah
didapatkan tekanan sistolik >129 mmHg dan pada tekanan diastolik >80. Menurut Depkes
RImenyebutkan kriteria diagnosis yang sama dengan pedoman ESC/ESH. Selain itu,
menurut pedoman WHO, menyebutkan kriteria diagnosis hipertensi yang sama dengan
pedoman ESC/ESH maupun pedoman Depkes RI (Aditya et al., 2023).
Sebagian besar penderita hipertensi tidak menunjukkan gejala klinis sama sekali.
Namun, terkadang hipertensi dapat menyebabkan sakit kepala, nyeri dada, jantung berdebar,
dan mimisan. Sangat berbahaya jika mengabaikan tanda-tanda tersebut. Hipertensi merupakan
sebuah peringatan untuk diri sendiri untuk mengubah gaya hidup yang sehat. Karena hipertensi
merupakan silent killermaka penting untuk setiap orang dapat mengetahui tekanan darah
mereka. Hipertensi dapat memediasi kerusakan organ, seperti jantung, pembuluh darah, ginjal,
retina, dan otak. Pada jantung, hipertensi akan menyebabkan beban kerja dari ventrikel kiri
akan meningkat, sehingga menyebabkan LVH (Left Ventricular Hyperthropy), gangguan
relaksasi ventrikel kiri, pembesaran atrium kiri, peningkatan resiko aritmia (Atrial Fibrilasi),
dan peningkatan resiko gagal jantung .
Pada pembuluh darah, hipertensi akan menyebabkan kerusakan pada arteri karotis
berupa hipertrofi, gangguan kecepatan pulsasi pembuluh darah (kekakuan pada arteri besar).
Pada ginjal, hipertensi dapat menyebabkan CKD (Chronic Kidney Disease) yang ditandai
dengan peningkatan dari kreatinin serum. Pada retina, hipertensi menyebabkan retinopati
yang ditandai dengan perdarahan retina, mikroaneurisma, papilloedema, dan gambaran cotton
wool spot pada pemeriksaan funduskopi dan biasanya terjadi pada pasien dengan hipertensi
derajat 2 dan 3 atau pasien hipertensi dengan diabetes. Pada otak, hipertensi dapat
meningkatkan prevalensi kerusakan otak, seperti TIA (Transient Ischaemic Attack) dan stroke.
Pada gambaran MRI didapatkan gambaran white matter hyperintensities, silent microinfarcts
yang dikaitkan dengan peningkatan resiko stroke dan gangguan kognitif. Selain kedua
gambaran tersebut, dapat terlihat gambaran otak yang mengalami atrofi (Aditya et al., 2023)
Obesitas dapat menyebabkan hipertensi melalui berbagai mekanisme, baik secara
langsung maupun tidak langsung. Secara langsung, obesitas dapat meningkatkan curah jantung
karena bertambahnya massa tubuh yang memerlukan lebih banyak darah, sehingga cardiac
output meningkat. Secara tidak langsung, obesitas memicu peningkatan aktivitas sistem saraf
simpatis dan Renin Angiotensin Aldosteron System (RAAS) melalui mediator seperti sitokin,
hormon, dan adipokin. Hormon aldosteron, yang berperan dalam retensi air dan natrium, dapat
menyebabkan peningkatan volume darah (Tiara, 2020).
Secara umum, hubungan antara hipertensi dan obesitas ditandai oleh beberapa
karakteristik, seperti ekspansi volume plasma, peningkatan curah jantung (cardiac output),
hiperinsulinemia atau resistensi insulin, peningkatan aktivitas sistem saraf simpatis, retensi
natrium, serta disregulasi hormon pengatur garam. Hubungan antara jaringan adiposa
disfungsional, lemak ektopik dan hipertensi bersifat kompleks, melibatkan interaksi antara
Jurnal Sehat Indonesia: Vol. 7, No. 1, Januari 2025 | 17
beberapa sistem organ termasuk lemak, otot, ginjal, hati, otak dan pembuluh darah, mengubah
kontrol hormonal homeostasis tekanan darah (Gambar 5). Misalnya, kelebihan lemak visceral
ditandai dengan disfungsi adiposit dan disregulasi adipokin, yang mendorong peradangan
melalui infiltrasi makrofag ke dalam adiposit hipertrofi, dan mengakibatkan resistensi insulin
sistemik dan perifer. Hal ini sebagian dimediasi oleh jaringan adiposa dan peradangan sistemik,
dan resistensi insulin bersamaan dengan hiperinsulinemia (Keating et al., 2020).
Gambar 5 Mekanisme kontribusi jaringan adiposa visceral dan ektopik terhadap hipertensi. Singkatan:
IR, resistensi insulin; FFA, asam lemak bebas; TG, trigliserida TNF-α, faktor nekrosis tumor-α; CRP,
protein reaktif; IL-6, interleukin 6; IL1β, interleukin 1β; ROS, spesies oksigen reaktif; SREBP1c, protein
pengikat unsur pengatur sterol; ChREBP, protein pengikat unsur pengatur karbohidrat; DNL, lipogenesis
de novo; VLDL, lipoprotein densitas sangat rendah; RAAS, sistem reninangiotensinogen aldosteron; SNS,
sistem saraf simpatik; RSF, renal sinus fat; Na, natrium.
Resistensi insulin menekan lipolisis jaringan adiposa yang menyebabkan peningkatan
sirkulasi asam lemak bebas (FFA) dan penyerapan FFA ke hati dan tempat ektopik lainnya.
Selain itu, hiperglikemia dan hiperinsulinemia meningkatkan ekspresi faktor transkripsi untuk
lipogenesis de novo hati. Gangguan penanganan lemak di hati akibat akumulasi lipid
menyebabkan resistensi insulin hati dan peningkatan transportasi kolesterol VLDL. Adiposit
disfungsional dalam VAT (visceral adipose tissue) juga mensekresi faktor endokrin (adipokin)
termasuk leptin dan angiotensinogen, yang meningkatkan aktivasi simpatis (SNS) dan
meningkatkan aktivitas sistem renin-angiotensin, aldosteron (RAAS). VAT juga meningkatkan
sensitivitas vaskular α adrenergik dan tonus arteri. Seiring dengan leptin dan peningkatan
produksi aldosteron, insulin juga menstimulasi SNS, yang menyebabkan ginjal meningkatkan
reabsorpsi natrium. Hal ini semakin diperburuk dengan peningkatan lemak sinus visceral dan
ginjal yang secara fisik menekan ginjal dan penurunan sensitivitas baroreflex. Secara bersama-
sama, patofisiologi ini berkontribusi terhadap hipertensi (Keating et al., 2020).
Selain perubahan fisiologis, adaptasi struktural telah diamati pada anatomi jantung
orang dengan obesitas dan komorbiditas hipertensi yang semakin memperburuk risiko CVD.
Massa ventrikel kiri lebih besar, dan volume sekuncup serta curah jantung lebih tinggi, pada
individu dengan komorbiditas hipertensi dan obesitas dibandingkan pada individu normotensif
Jurnal Sehat Indonesia: Vol. 7, No. 1, Januari 2025 | 18
dengan obesitas. Selain itu, remodeling ventrikel kiri konsentris dan hipertrofi ventrikel kiri
telah terbukti terjadi pada pasien dengan obesitas sentral, dibandingkan dengan remodeling
eksentrik pada pasien dengan distribusi lemak tubuh berlebih di perifer (Keating et al., 2020).
Orang yang mengalami obesitas atau kelebihan berat badan memerlukan lebih banyak
darah untuk menyuplai nutrisi dan oksigen ke jaringan tubuh. Hal ini menyebabkan peningkatan
volume darah yang beredar melalui pembuluh darah, meningkatkan kerja jantung, dan akhirnya
meningkatkan tekanan darah (Tiara, 2020). Berbagai penelitian menunjukkan bahwa obesitas
merupakan faktor risiko utama yang paling memengaruhi terjadinya hipertensi. Obesitas pada
penderita hipertensi dapat menentukan tingkat keparahan kondisi tersebut. Semakin besar
ukuran tubuh seseorang, semakin banyak darah yang dibutuhkan untuk menyuplai nutrisi dan
oksigen ke jaringan dan otot. Obesitas meningkatkan panjang pembuluh darah, yang
menyebabkan peningkatan resistensi aliran darah, karena darah harus menempuh jarak yang
lebih jauh. Peningkatan resistensi ini menyebabkan tekanan darah meningkat (Tiara, 2020).
Menurut pedoman ESC/ESH tatalaksana hipertensi yaitu dengan penatalaksanaan
nonfaramologi dan farmakologi. Tatalaksana nonfarmakologi dapat berupa perubahan gaya
hidup, pembatasan makanan yang mengandung natrium, menurunkan berat badan, berhenti
merokok, pembatasan konsumsi alkohol, dan aktivitas fisik yang teratur. Sedangkan
tatalaksana farmakologi dapat berupa obat antihipertensi. Obat antihipertensi menurut
ESC/ESH dan JNC 8 berupa ACE-i/ARB (Angiotensin Converting Enzyme-
Inhibitor/Angiotensin Receptor Blockers), CCB (Calcium Channel Blockers), diuretik, dan
-blocker. Namun pada JNC 8 terdapat penambahan obat seperti vasodilator dan centrally-
acting agents (Aditya et al., 2023).
Memiliki gaya hidup yang sehat dapat mencegah timbulnya hipertensi dan dapat
mengurangi resiko dari penyakit kardiovaskular. Perubahan gaya hidup yang efektif dapat
mencegah kebutuhan terapi farmakologi pada pasien hipertensi derajat 1. Pertambahan berat
badan yang berlebih sering ikaitkan dengan hipertensi, dan penurunan berat badan menjadi
berat badan ideal dapat menurunkan tekanan darah. Penurunan berat badan direkomendasikan
untuk pasien hipertensi dan obesitas untuk mengkontrol faktor resiko metabolik. Pemeliharaan
berat badan yang sehat (IMT 20–25 kg/m2) direkomendasikan untuk pasien non hipertensi
guna mencegah hipertensi, sedangkan untuk pasien hipertensi berguna untuk menurunkan
tekanan darah. Penurunan berat badan dapat meningkatkan keberhasilan pengobatan
antihipertensi dan dapat menurunkan resiko penyakit kardiovaskular (Aditya et al., 2023).
Pedoman aktivitas fisik preskriptif untuk pengelolaan obesitas dan hipertensi tersedia
secara luas dan secara kolektif sesuai dalam kisaran 150-300 menit per minggu untuk aktivitas
intensitas sedang atau intensitas kuat (volume yang lebih tinggi jika penurunan berat badan
adalah tujuannya), ditambah 2 hari per minggu pelatihan ketahanan intensitas sedang untuk
tekanan darah dan manfaat metabolik. Ringkasan modalitas latihan dan kemanjurannya untuk
tekanan darah dan berat badan serta komposisinya disajikan pada Gambar 6. Sebelum
melakukan program baru, atau lompatan signifikan dalam kemajuan program yang sudah ada,
pasien harus diskrining oleh dokter yang tepat (Keating et al., 2020).
Jurnal Sehat Indonesia: Vol. 7, No. 1, Januari 2025 | 19
Gambar 6 Kemanjuran modalitas latihan yang berbeda untuk hasil kesehatan. Panah padat menunjukkan
hal berikut: panah ganda ke atas, bukti kuat akan manfaat yang lebih besar; panah tunggal ke atas, bukti
kuat akan manfaat yang baik; panah dua arah ke samping, bukti kuat untuk manfaat minimal/tidak ada
manfaatnya; panah ganda ke atas putus-putus, bukti terbatas untuk manfaat yang lebih besar; panah
tunggal ke atas putus-putus, bukti terbatas untuk manfaat yang baik; HIIT, latihan interval intensitas
tinggi; VAT, jaringan adiposa visceral.
Dari beberapa penelitian yang diidentifikasi, meskipun olahraga yang dikombinasikan
dengan diet tidak lebih baik daripada diet saja dalam menurunkan tekanan darah, penambahan
olahraga akan meningkatkan kebugaran kardiorespirasi dan massa/komposisi tubuh lebih dari
sekedar jika hanya diet saja. Kebugaran kardiorespirasi yang tinggi mempunyai hubungan yang
kuat dan berbanding terbalik dengan morbiditas dan semua penyebab kematian dan juga telah
terbukti mencegah perkembangan dari pre-hipertensi sebelum menjadi hipertensi. Khususnya,
dengan HIIT (high intensity interval training) telah terbukti menghasilkan peningkatan dua kali
lipat dalam kebugaran kardiorespirasi pada populasi klinis (Keating et al., 2020),
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa penurunan berat badan (WL, weight loss)
dapat mengurangi tekanan darah. Fantin,dkk pada tahun 2019 menganalisis penelitian yang
mengamati efek WL terhadap tekanan darah dalam 10 tahun terakhir dan menemukan 13
penelitian (baik intervensi maupun observasional) yang menunjukkan hubungan antara WL dan
penurunan tekanan darah. Strategi WL yang berbeda diperhitungkan berupa modifikasi pola
makan dan gaya hidup, intervensi farmakologis dan bedah bariatrik. Beberapa hasil tersebut
juga dikuatkan dengan bukti 8 review yang diterbitkan dalam sepuluh tahun terakhir.
Menariknya, semua penelitian yang memberikan strategi WL spesifik pada pasien hipertensi
obesitas menunjukkan peningkatan yang signifikan baik dalam penurunan tekanan darah dan
atau penurunan berat badan (Fantin et al., 2019).
Wijkman dkk. pada tahun 2019 melakukan uji coba pada pasien obesitas secara acak
menerima liraglutide atau plasebo selama 24 minggu. Dibandingkan dengan kelompok plasebo,
subjek yang menerima liraglutide menunjukkan penurunan berat badan dan tekanan darah yang
lebih besar, 33% mengalami penurunan tekanan darah lebih dari 5 mmHg, dan 22% pasien
Jurnal Sehat Indonesia: Vol. 7, No. 1, Januari 2025 | 20
mengalami penurunan WL dan tekanan darah memberikan bukti bahwa pasien kelebihan berat
badan atau obesitas, yang diberi liraglutide secara acak selama jangka waktu tiga tahun,
mengalami penurunan IMT dan tekanan darah sistolik dan diastolik yang signifikan
dibandingkan dengan plasebo (p <0,001 untuk semua) (Wijkman et al., 2019).
Mekanisme lain yang menjelaskan efek Liraglutide pada tekanan darah telah
dihipotesiskan. Pengobatan Liraglutide telah terbukti meningkatkan natriuresis melalui
peningkatan peptida natriuretik. Studi lain menemukan peningkatan kadar cyclic guanyl
monophosphate (cGMP) dan cyclic adenyl monophosphate (cAMP) yang merupakan dua
vasodilator dan mengurangi konsentrasi plasma angiotensinogen, renin dan angiotensin setelah
terapi reseptor GLP-1. Selain itu, karena reseptor GLP 1 diekspresikan dalam sel endotel,
terdapat hipotesis bahwa agonis reseptor GLP-1 dapat memperbaiki disfungsi endotel yang
berkontribusi terhadap penurunan kadar tekanan darah (Wijkman et al., 2019).
Kesimpulan
Hipertensi adalah kondisi di mana tekanan darah melebihi batas normal dan merupakan
penyumbang utama beban penyakit global. Lebih dari 1 miliar orang di seluruh dunia
terpengaruh oleh hipertensi, dan prevalensinya diperkirakan terus meningkat. Penelitian
sebelumnya telah mengidentifikasi berbagai faktor utama penyebab hipertensi. Tekanan darah
(TD) sering kali meningkat pada individu dengan indeks massa tubuh (IMT) yang tinggi. IMT
yang tinggi dikaitkan dengan risiko hipertensi yang lebih besar dibandingkan dengan IMT
dalam rentang normal. Studi di berbagai populasi global menunjukkan bahwa hubungan antara
IMT dan tekanan darah sistolik serta diastolik cenderung hampir linier. Umumnya, hipertensi
terkait dengan obesitas ditandai oleh peningkatan volume plasma, curah jantung (cardiac
output), hiperinsulinemia atau resistensi insulin, aktivitas sistem saraf simpatis yang meningkat,
retensi natrium, serta disregulasi hormon pengatur garam. Hubungan antara jaringan adiposa
disfungsional, lemak ektopik, dan hipertensi bersifat kompleks, melibatkan interaksi antara
berbagai sistem organ seperti lemak, otot, ginjal, hati, otak, dan pembuluh darah, yang
memengaruhi kontrol hormonal homeostasis tekanan darah. Selain perubahan fisiologis,
adaptasi struktural juga terlihat pada anatomi jantung orang dengan obesitas dan hipertensi,
yang semakin memperburuk risiko penyakit kardiovaskular. Individu dengan obesitas dan
hipertensi memiliki massa ventrikel kiri yang lebih besar, volume sekuncup, dan curah jantung
yang lebih tinggi dibandingkan dengan individu dengan obesitas namun normotensif. Penerita
obesitas memerlukan lebih banyak darah untuk menyuplai nutrisi dan oksigen ke seluruh tubuh,
yang mengakibatkan peningkatan volume darah yang mengalir melalui pembuluh darah,
meningkatkan kerja jantung, dan pada akhirnya meningkatkan tekanan darah.
Jurnal Sehat Indonesia: Vol. 7, No. 1, Januari 2025 | 21
Daftar Pustaka
Aditya, N. R., Mustofa, S., Studi, P., Dokter, P., Kedokteran, F., Lampung, U., Fisiologi, B.,
Kedokteran, F., & Lampung, U. (2023). Hipertensi : Gambaran Umum Hypertension : An
Overview. Jurnal Universitas Lampung, 11, 128138.
Az-Zahra, A., Muyassar, I., & Maharani, S. (2022). Pengaruh Gaya Hidup Terhadap Kejadian
Obesitas di Indonesia. Researchgate.Net, 4(December), 110.
Bagus Tri Saputra, P., Dyah Lamara, A., Eko Saputra, M., Achmad Maulana, R., Eko
Hermawati, I., Anugrawan Achmad, H., Ageng Prastowo, R., & Her Oktaviono, Y. (2023).
Diagnosis dan Terapi Non-farmakologis pada Hipertensi. Cermin Dunia Kedokteran,
50(6), 322330. https://doi.org/10.55175/cdk.v50i6.624
Bann, D., Scholes, S., Hardy, R., & O’Neill, D. (2021). Changes in the body mass index and
blood pressure association across time: Evidence from multiple cross-sectional and cohort
studies. Preventive Medicine, 153, 106825. https://doi.org/10.1016/j.ypmed.2021.106825
Dzau, V. J., & Hodgkinson, C. P. (2023). Precision Hypertension. Hypertension, April, 702
708. https://doi.org/10.1161/hypertensionaha.123.21710
Fantin, F., Giani, A., Zoico, E., Rossi, A. P., Mazzali, G., & Zamboni, M. (2019). Weight loss
and hypertension in obese subjects. Nutrients, 11(7), 113.
https://doi.org/10.3390/nu11071667
Hall, J. E., Do Carmo, J. M., Da Silva, A. A., Wang, Z., & Hall, M. E. (2019). Obesity-Induced
Hypertension: Interaction of Neurohumoral and Renal Mechanisms. Circulation
Research, 116(6), 9911006. https://doi.org/10.1161/CIRCRESAHA.116.305697
Herdiani, N. (2019). Hubungan Imt Dengan Hipertensi Pada Lansia Di Kelurahan Gayungan
Surabaya. Medical Technology and Public Health Journal, 3(2), 183189.
https://doi.org/10.33086/mtphj.v3i2.1179
Keating, S. E., Coombes, J. S., Stowasser, M., & Bailey, T. G. (2020). The Role of Exercise in
Patients with Obesity and Hypertension. Current Hypertension Reports, 22(10).
https://doi.org/10.1007/s11906-020-01087-5
Khalid, F., Siddique, A., Siddiqui, J. A., Panhwar, G., Singh, S., Anwar, A., & Hashmi, A. A.
(2020). Correlation Between Body Mass Index and Blood Pressure Levels Among
Hypertensive Patients: A Gender-Based Comparison. Cureus, 12(10).
https://doi.org/10.7759/cureus.10974
Landi, F., Calvani, R., Picca, A., Tosato, M., Martone, A. M., Ortolani, E., Sisto, A., D’angelo,
E., Serafini, E., Desideri, G., Fuga, M. T., & Marzetti, E. (2019). Body mass index is
strongly associated with hypertension: Results from the longevity check-up 7+ study.
Nutrients, 10(12), 112. https://doi.org/10.3390/nu10121976
Litwin, M., & Kułaga, Z. (2021). Obesity, metabolic syndrome, and primary hypertension.
Pediatric Nephrology, 36(4), 825837. https://doi.org/10.1007/s00467-020-04579-3
Nugroho, P. S. (2020). Jenis Kelamin Dan Umur Berisiko Terhadap Obesitas Pada Remaja Di
Indonesia. An-Nadaa: Jurnal Kesehatan Masyarakat, 7(2), 110.
https://doi.org/10.31602/ann.v7i2.3581
Pratiwi, H., Rochma, M., & Nurahmi, A. (2022). Pemantauan Indeks Massa Tubuh dan Persen
Lemak Tubuh dalam Pencegahan Obesitas. Sociality: Journal of Public Health Service,
1(1), 5360.
Jurnal Sehat Indonesia: Vol. 7, No. 1, Januari 2025 | 22
Susanto, A. (2020). Hubungan Indeks Massa Tubuh Dengan Hipertensi Pada Penderita
Hipertensi Di Puskesmas Kembaran 1 Banyumas. Jurnal Kesehatan, 13, 119.
Tiara, U. I. (2020). Hubungan Obesitas Dengan Kejadian Hipertensi. Journal of Health Science
and Physiotherapy, 2(2), 167171. https://doi.org/10.35893/jhsp.v2i2.51
Wijkman, M. O., Dena, M., Dahlqvist, S., Sofizadeh, S., Hirsch, I., Tuomilehto, J., Mårtensson,
J., Torffvit, O., Imberg, H., Saeed, A., & Lind, M. (2019). Predictors and correlates of
systolic blood pressure reduction with liraglutide treatment in patients with type 2 diabetes.
Journal of Clinical Hypertension, 21(1), 105115. https://doi.org/10.1111/jch.13447