Coresponden Author: Linda Julianti Wijayadi
Artikel dengan akses terbuka dibawah lisensi
Pendahuluan
Pada akhir tahun 2019, virus corona SARS-CoV-2 muncul di Wuhan, China,
menyebabkan penyakit Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) (Kementerian
Kesehatan Indonesia, 2020).
Virus ini menyebar dengan cepat dan secara global,
mengakibatkan pandemi yang diakui oleh WHO pada Maret 2020 (Penanganan
COVID-19, 2021). COVID-19 memiliki dampak besar terhadap kesehatan dan
kehidupan manusia, memicu kebijakan pencegahan dan pengendalian yang ketat
di seluruh dunia (Ditjen P2P, 2021).
Penggunaan hand sanitizer telah meningkat pesat, terutama sejak pandemi
COVID-19. WHO merekomendasikan hand sanitizer sebagai pengganti mencuci tangan
dengan air dan sabun saat tidak memungkinkan. Hand sanitizer mengandung alkohol
yang efektif membunuh kuman dan virus. (WHO, 2019).
Mahasiswa Fakultas Kedokteran sering menggunakan hand sanitizer dalam
aktivitas sehari-hari karena praktik klinis dan penelitian yang melibatkan kontak pasien
dan bahan medis yang berpotensi mengandung kuman atau virus. Namun, penggunaan
berlebihan atau jangka panjang dari hand sanitizer dapat menyebabkan dampak negatif
pada kulit, seperti dermatitis kontak (Su & Chung, 2019).
Terdapat dua jenis dermatitis kontak terkait penggunaan hand sanitizer: dermatitis
kontak iritan (DKI) akibat rangsangan eksternal (Statescu dkk., 2011) dan dermatitis
kontak alergi (DKA) akibat reaksi inflamasi akibat kontak dengan alergen dalam hand
sanitizer.
Penggunaan berlebihan hand sanitizer dapat menyebabkan kulit kering dan
dehidrasi karena alkohol menghilangkan minyak alami kulit (WHO, 2009).
Kadar
hidrasi kulit tangan penting untuk menilai kesehatan kulit, dan penurunannya dapat
menyebabkan kulit kering, pecah-pecah, dan iritasi (Mayhall, 2012).
Data menunjukkan bahwa reaksi kulit ini lebih sering terjadi pada wanita daripada
pria: Belanda (wanita 8%, pria 4,4%), Norwegia (wanita 13,2%, pria 4,9%), Swedia
(wanita 14,6%, pria 8,9%) (Statescu dkk., 2011).
Menurut Kementerian Kesehatan dan Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit
Kelamin Indonesia, penyakit kulit termasuk dermatitis kontak adalah masalah kesehatan
yang signifikan (Kalboussi dkk., 2019).
Dari 389 kasus penyakit kulit, 97% adalah
dermatitis kontak, dengan 66,3% berupa dermatitis kontak iritan dan 33,7% dermatitis
kontak alergi (Kemenkes RI, 2017). Dermatitis kontak alergi berdampak negatif pada
kualitas hidup individu yang terkena. (Kalboussi dkk., 2019).