JUSINDO, Vol. 6 No. 2, Juli 2024
p-ISSN: 2303-288X, e-ISSN: 2541-7207
Jurnal Sehat Indonesia: Vol. 6 No. 2, Juli 2024 | 701
Hubungan Dukungan Sosial dan Strategi Koping Dengan Kualitas Hidup Klien
Skizofrenia di Unit Pelayanan Jiwa A RSJ Prof. Dr. HB Saanin Padang 2016
Tigor Abdurrahman Thomi
1*
, Zabidah Putit
2
, Ira Erwina
3
Universitas Andalas Padang, Indonesia
1,3
Universitas Malaysia Serawak, Malaysia
2
Email: ns.tigor.[email protected]
ABSTRAK
Kata kunci:
Dukungan Sosial;
KualitasHidup; Strategi
Koping; Skizofrenia
Skizofrenia adalah jenis psikosis yang mempengaruhi setiap
aspek kehidupan seseorang. Orang yang mengidap skizofrenia
sering menghadapi tantangan dalam beradaptasi dengan diri
mereka sendiri serta dengan lingkungan sekitar, yang pada
gilirannya dapat menurunkan kualitas hidup mereka. Faktor-
faktor yang memengaruhi kualitas hidup individu dengan
skizofrenia meliputi interaksi sosial, situasi stres, dan cara
individu menghadapi tekanan tersebut. Penelitian ini bertujuan
untuk mengeksplorasi hubungan antara dukungan sosial,
strategi koping, dan kualitas hidup klien skizofrenia di Unit
Pelayanan Jiwa A RSJ Prof. Dr. HB Saanin Padang tahun 2016.
Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif korelatif
dengan jumlah sampel sebanyak 173 orang, dipilih melalui
teknik purposive sampling. Data dikumpulkan melalui
kuesioner yang menilai tingkat dukungan sosial, strategi koping,
dan kualitas hidup klien. Hasil analisis menunjukkan adanya
hubungan positif antara tingkat dukungan sosial yang diterima
dan kualitas hidup klien skizofrenia. Selain itu, strategi koping
yang digunakan oleh klien skizofrenia juga berhubungan secara
signifikan dengan kualitas hidup mereka. Temuan ini menyoroti
pentingnya peran dukungan sosial dan strategi koping dalam
meningkatkan kualitas hidup klien skizofrenia. Implikasi klinis
dari penelitian ini mendukung perlunya integrasi intervensi yang
bertujuan untuk meningkatkan dukungan sosial dan
memperkuat strategi koping dalam pengelolaan skizofrenia
untuk meningkatkan kualitas hidup klien.
Keywords :
Coping Strategies; Quality of
Life; Schizophrenia; Social
Support
ABSTRACT
Schizophrenia is a type of psychosis that affects every aspect of
a person's life. People with schizophrenia often face challenges
in adapting to themselves as well as to their surroundings, which
in turn can reduce their quality of life. Factors that affect the
quality of life of individuals with schizophrenia include social
interactions, stressful situations, and how individuals deal with
these stresses. This study aims to explore the relationship
between social support, coping strategies, and quality of life of
schizophrenia clients in the Mental Service Unit A of Prof. Dr.
HB Saanin Hospital Padang in 2016. The research method used
was descriptive correlative with a sample size of 173 people,
selected through purposive sampling technique. Data were
collected through a questionnaire that assessed the level of
social support, coping strategies, and client quality of life. The
results of the analysis showed a positive relationship between
the level of social support received and the quality of life of
Jurnal Sehat Indonesia: Vol. 6 No. 2, Juli 2024 | 702
schizophrenia clients. In addition, the coping strategies used by
schizophrenia clients were also significantly associated with
their quality of life. These findings highlight the important role
of social support and coping strategies in improving the quality
of life of schizophrenia clients. The clinical implications of this
study support the need for integration of interventions aimed at
increasing social support and strengthening coping strategies in
the management of schizophrenia to improve clients' quality of
life.
Correspondent Author: Tigor AbdurrahmanThomi
Email: ns.tigor.mkep@gmail.com
Artikel dengan akses terbuka di bawah lisensi
Pendahuluan
Skizofrenia adalah gangguan mental serius yang mempengaruhi cara seseorang
berpikir, merasakan, dan berperilaku. Meskipun penyebab pastinya belum sepenuhnya
dipahami, skizofrenia diyakini memiliki dasar biologis dan genetik, di mana faktor lingkungan
juga dapat memainkan peran penting dalam perkembangan gangguan ini. Orang dengan
skizofrenia mungkin mengalami gejala yang bervariasi, termasuk delusi (keyakinan yang tidak
benar), halusinasi (mendengar atau melihat sesuatu yang tidak ada), gangguan pemikiran (pola
pikiran yang tidak teratur), serta gangguan emosional dan perilaku. Menurut hasil survei
penduduk Amerika Serikat pada tahun 2004, 26,2% responden berusia antara 18 dan 30 tahun
atau lebih, atau lebih mungkin pernah mengalami gangguan (NIMH, 2011). Menurut Depkes
RI (2009), saat ini terdapat lebih dari 28 juta orang di Indonesia yang menderita gangguan jiwa.
Tren ini akan membantu meningkatkan prevalensi gangguan pada perempuan dari tahun ke
tahun di beberapa negara. Kondisi ini juga terjadi di wilayah Barat. Berdasarkan Riskesdas,
pada tahun 2007 prevalensi berat jiwa di wilayah Barat sebesar 16,7 juta jiwa, dan pada tahun
2013 menurun menjadi 1,9 juta jiwa. Meskipun terdapat kerugian, jumlah tersebut tergolong
kecil dibanding rata-rata nasional sebesar 1,7% per juta. Tingkat keparahan skizofrenia di Asia
Tenggara kemungkinan besar berhubungan dengan kualitas hidup pasien skizofrenia.
Pentingnya kualitas hidup pada pasien skizofrenia menjadi hal yang perlu diperhatikan
dalam perawatannya. Meskipun perawatan medis telah memperlihatkan kemajuan signifikan
dalam mengelola gejala skizofrenia, faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas hidup masih
seringkali terabaikan. Skizofrenia bukanlah sekadar tantangan medis, tetapi juga melibatkan
aspek fisik, psikologis, sosial, dan lingkungan hidup individu. Kurangnya perhatian terhadap
aspek-aspek ini dapat menyebabkan penurunan kualitas hidup yang signifikan, bahkan ketika
gejala medis terkontrol dengan baik.
Kualitas hidup klien skizofrenia juga dipengaruhi oleh seberapa baik strategi yang
digunakan untuk menyelesaikan masalah. Individu dengan skizofrenia dapat memilih kualitas
hidupnya melalui strategi coping (McCabe, 2006). Saat klien skizofrenia mampu menghadapi
situasi strees, berfikir positif dalam kehidupannya dan beradaptasi dengan lingkungannya maka
kalitas hidupnya menjadi lebih baik (Caron dkk, 2005 dalam Rubbyana, (2012). Rudnick &
Martins (2009) menemukan bahwa setiap klien skizofrenia yang mampu menunjukkan afirmasi
Jurnal Sehat Indonesia: Vol. 6 No. 2, Juli 2024 | 703
positif dalam kehidupannya, berfikir positif, dan mendapatkan penghargaan dalam masyarakat
maka akan meningkatkan kualitas hidupnya. Individu dengan koping yang efektif mendapatkan
penguatan positif untuk meningkatkan kualitas hidupnya. Dukungan sosial merupakan sumber
daya yang diperlukan bagi pasien skizofrenia agar merasa lebih baik, memungkinkan mereka
untuk berintegrasi ke dalam masyarakat dan meningkatkan kualitas hidup mereka (Shahir et al.,
2007). Untuk meningkakan derajat kesehatan klien skizofrenia salah satunya bisa didapatkan
melalu dukungan social dari masyarakat (Huang dkk., 2008). Selain itu salah satu cara untuk
mengurangi gejala gangguan jiwa yang parah juga dapat menggunakan tingkat dukungan social
yang dirasakan oleh klien. Oleh karena itu, sangat penting untuk memiliki jaringan sosial yang
kuat ketika klien mengalami masalah atau tekanan yang membuat mereka merasa tidak nyaman.
Beberapa penelitian di berbagai negara menghasilkan temuan yang berbeda mengenai
faktor yang mempegaruhi kualitas hidup penderita skizofrenia. Sebuah studi oleh Hamaideh
dkk. (2014) menyimpulkan bahwa dukungan sosial dari teman adalah aspek paling berpengaruh
terhadap kualitas hidup penderita skizofrenia di Yordania. Hal ini dikarenakan kami
mengetahui bahwa klien kami jarang sekali memiliki kontak dekat dengan keluarga atau
tetangganya. Akan tetapi, temuan ini bertentangan dengan Galuppi dkk. (2010) menemukan
bahwa dimensi sosial merupakan yang paling rendah di Italia. Hasil penelitian Weny (2014) di
Indonesia menunjukkan bahwa dukungan instrumental keluarga mempunyai dampak paling
besar terhadap kualitas hidup. Dukungan instrumental: Anggota keluarga memberikan
dukungan dalam bentuk tenaga atau uang, atau meluangkan waktu untuk mendengarkan klien
skizofrenia mengungkapkan perasaannya.
Salah satu dari sedikit rumah jiwa sakit di provinsi Sumatera Barat adalah Rumah Sakit
Jiwa HB Saanin Padang yang merupakan RSJ tipe A yang menerima klien gangguan jiwa dan
Napza sebagai tempat penyelesaian keluhan kesejahteraan jiwa di provinsi tersebut.
Berdasarkan data Rekam Medik, Skizofrenia dikaitkan dengan angka kunjungan ke Instalasi
Rawat Jalan yang terus menurun, menunjukkan prosedur diagnostik pertama yang baik untuk
rawat inap maupun rawat jalan. Berdasarkan fenomena tersebut, peneliti tertarik untuk
mempelajari hubungan antara jejaring sosial dan strategi koping dan kualitas hidup pasien
skizofrenia di Unit Jiwa A RSJ HB Saanin Padang.
Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan salah satu contoh penelitian korelasi kuantitatif. Desain atau
metode cross-sectional digunakan. Rata-rata pasien skizofrenia rawat jalan RSJ Poliklinik Prof.
dijadikan sebagai populasi penelitian. Pada bulan Januari dan Februari 2016, Hb Saanin Padang
memiliki total 1476 klien. 173 klien adalah jumlah sampel yang dibutuhkan.
Kriteria Inklusi pada penelitian ini adalah :
a. Klien didiagnosa skizofrenia untuk periode waktu yang lebih dari 1 tahun.
b. Datang ke Poliklinik dengan pelaku rawat
c. Klien skizofrenia yang kooperatif dalam berkomunikasi
d. Bersedia menjadi responden
Kriteria Eksklusi pada penelitian ini adalah :
a. Memiliki penyakit fisik yang parah seperti: stroke, hipertensi dan DM,
b. Memiliki riwayat cedera kepala berat,
c. Mengalami keterbelakangan mental.
Jurnal Sehat Indonesia: Vol. 6 No. 2, Juli 2024 | 704
Perhitungan jumlah sampel menggunakan rumus Lameshow adalah sebagai berikut:
n = N. Z
2
1-x/
2
. P(1-P)
(N-1) . d
2
+ Z
2
1-x/
2 .
P(1-P)
n = 1476. 1,96. 0,5(1-0,5)
(1476-1). (0,05)
2
+1.96.0,5(1-0,5)
n = 173 orang
dimana:
n = besar sampel
𝑁= Jumlah Populasi
d = tingkat kepercayaan (presisi 5%)
Z
2
1-x/
2
= 1,96
P= perkiraan proporsi 50% (Weny, 2014)
Prinsip-prinsip etika didasarkan pada Pedoman Etika Penelitian Kesehatan yang
diterbitkan oleh Komite Etika Penelitian Kesehatan Nasional (2003; Rodin, 2003). Etika dalam
penelitian keperawatan sangat krusial karena berhubungan langsung dengan manusia. Oleh
karena itu, yang harus memperhatikan hal-hal berikut ini:
1. Informed consent: Sebelum penelitian dilakukan, responden diberikan informasi lengkap
tentang tujuan penelitian, prosedur pengumpulan data, serta kemungkinan risiko dan
manfaat penelitian. Jika responden setuju, mereka akan diminta menandatangani formulir
persetujuan. Jika responden merasa tidak nyaman untuk berpartisipasi, mereka dapat
mengundurkan diri atau menolaknya.
2. Tanpa nama (Anonimity), pada penelitian ini responden mengisi lembar kuisioner kualitas
hidup serta dukungan sosial dan strategi koping. Responden tidak perlu menuliskan
identitas dirinya secara lengkap tetapi cukup dengan menuliskan inisial. Data yang ada
daftar nama responden dengan kode responden akan disimpan di notebook yang
menggunakan password sehingga data hanya dapat diakses oleh peneliti sendiri.
3. Kerahasiaan (Confidentiality), semua informasi yang diberikan akan dirahasiakan dan
hanya akan digunakan untuk kepentingan penelitian. Peneliti menjelaskan bahwa hasil
penelitian berupa informasi tentang kelompok bukan individu dan setelah penelitian
selesai, data yang telah dikumpulkan akan dimusnahkan.
Teknis pengambilan data:
1. Jenis Data
a. Data primer yaitu dengan mengunakan data yang diperoleh dari kuesioner yaitu untuk
mengidentifikasi hubungan dukungan sosial dan strategi koping dengan kepuasan
hidup klien skizofrenia.
b. Data sekunder yaitu data yang diperoleh dari selain kuesioner, data sepuluh diagnosa
terbanyak, serta wawancara dengan Bidang keperawatan dan pasien rawat inap.
2. Instrumen
Karena penelitian pada dasarnya adalah pengukuran, maka penelitian biasanya
memerlukan peralatan pengukuran yang disebut peralatan penelitian. Oleh sebab itu,
Jurnal Sehat Indonesia: Vol. 6 No. 2, Juli 2024 | 705
instrumen penelitian berfungsi sebagai alat untuk mengukur fenomena alam atau sosial
yang diamati (Sugiyono, 2008). Bagian-baian dalam kuesioner terdiri dari, pertanyaan
mengenai data demografi responden, cara pengisian kuesioner, dan tentang cara pengisian
kuesioner.
Kuisioner tentang kualitas hidup klien skizofrenia. Kuesioner kualitas hidup klien
skizofrenia menggunakan World Health Organization Quality Of Life (WHOQOL-
BREFF, 2012). Kualitas hidup pasien skizofrenia kemudian dikategorikan menjadi dua
berdasarkan nilai rata-rata yang diperoleh: kualitas hidup baik jika nilai total skor ≥ rata-
rata, dan kualitas hidup buruk jika nilai total skor < rata-rata (Nur et al., 2012 dalam
Weny, 2014). WHOQOL-BREF memerlukan waktu penyelesaian yang relatif singkat,
sehingga cocok untuk responden yang memiliki keterbatasan waktu.
1. Uji Validitas
Hasil uji validitas menggunakan kuisioner dukungan sosial yang dilakukan
Larasati (2012) Hal ini dilakukan dengan mengukur konsistensi internal, dimana peneliti
mengkorelasikan skor item dengan total skor dan instrumen pengukuran SPSS.
Berdasarkan hasil uji validitas tersebut, koefisien korelasi seluruh item berkisar antara -
0,072 hingga 0,648. Secara keseluruhan nilai reliabilitas alat ukur ini sudah baik dan tidak
perlu dilakukan modifikasi karena struktur kalimat dan bahasa butir soal sudah dianggap
baik.
Dari hasil uji validitas strategi coping yang dilakukan Bastian (2012) dengan
menggunakan kuesioner, diperoleh beberapa item yang nilai validitasnya rendah (kurang
dari 0,2). Namun peneliti akan mempertahankan item tersebut karena dianggap valid dan
reliabel dalam beberapa penelitian sebelumnya. Selain itu, ada kekhawatiran bahwa
penghapusan item-item ini dapat mempengaruhi validitas internal secara keseluruhan..
Hasil uji validitas kualitas hidup menggunakan kuisioner yang dilakukan Weny
(2015) menemukan hasil dari 26 pertanyaan ada satu pertanyaan yaitu p21 (r=0.351) yang
nilainya rendah dari r tabel (0.361) selanjutnya dari 25 pertanyaan mempunyai r hasil
(0.379 sampai 0.869) dapat dipastikan nilai r hasil ditatas lebih besar dari r tabel (0.361).
Masing-masing pertanyaan variabel dibanding nilai hasil nilai tabel, ternyata r hasil lebih
besar dari pada r tabel maka pertanyaan kualitas hidup tersebut valid.
2. Uji Reliabilitas
Hasil uji reliabilitas dukungan sosial diperoleh dari kuesioner Larasati (2012)
dengan alpha-Cronbach secara keseluruhan sebesar 0,842. Dengan kata lain, instrumen
pengukuran Skala Jaminan Sosial dinilai memiliki reliabilitas yang baik karena koefisien
reliabilitasnya berkisar antara 0,8 hingga 0,9 (Kaplan dan Saccuzzo, 2005).
Peneliti menggunakan hasil uji coba kuisioner strategi koping yang dilakukan
Bastian (2012). Uji reliabilitas COPE diperoleh koefisien alpha sebesar 0,821. Menurut
Kaplan dan Saccuzzo (2005), jika koefisien reliabilitas suatu alat tes antara 0,7 dan 0,8,
maka alat tes tersebut dianggap cukup untuk digunakan dalam penelitian..
Hasil uji reliabilitas kualitas hidup menggunakan kuisioner yang dilakukan Weny
(2015) didapatkan nilai alpha (0.858), lebih besar dibandingkan nilai r tabel (0.361),
maka 25 pertanyaan mengenai kualitas hidup dinyatakan reliabel.
Jurnal Sehat Indonesia: Vol. 6 No. 2, Juli 2024 | 706
Hasil dan Pembahasan
Gambaran Karakteristik Demografi Klien Skizofrenia di Unit Pelayanan Jiwa A RSJ. HB.
Saanin Padang Tahun 2016
Secara keseluruhan usia responden berkisar antara 42,90 tahun (95% CI 40,80; 45,00).
Tabel 1 Distribusi Karakteristik Umur Klien Skizofrenia di Unit Pelayanan Jiwa A
RSJ HB Saanin Padang Tahun 2016 (n = 173)
Karakteristik
Median
Mean
SD
Min-Maks
Umur
43
42,90
13,996
18-63
Tabel 1 menunjukkan median umur adalah 43 tahun dan rata-rata umur seluruh responden
adalah 42,90 tahun (95% CI 40,80, 45,00). Usia termuda adalah 18 tahun dan usia tertua adalah
63 tahun. Hasil estimasi interval menunjukkan bahwa 95% berasumsi bahwa rata-rata usia
responden antara 40,80 dan 45,00 tahun
Tabel 2 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin, Status Pekerjaan, Status
Pendidikan, Status Pernikahan di Unit Pelayanan Jiwa A RSJ HB
Saanin Padang Tahun 2016 (n = 173)
Karakteristik
Frekuensi
Persentase (%)
Jenis kelamin
Laki-laki
97
56.1
Perempuan
76
43.9
Status Pekerjaan
Bekerja
93
53.8
Tidak bekerja
80
46.2
Status Pernikahan
Menikah
97
56.1
Belum menikah
58
33.5
Janda/duda
18
10.4
Pendidikan
Tinggi
103
59.5
Rendah
70
40.5
Berdasarkan tabel 2, diperoleh hasil bahwa 97 orang berjenis kelamin laki-laki (56,1%),
93 orang mempunyai pekerjaan (53,8%), dan 97 orang berstatus menikah (56.1%). Menurut
status pendidikan lebih banyak responden berpendidikan tinggi (59,5%).
Yang tertua berumur enam puluh tiga tahun, dan yang termuda berumur delapan belas
tahun. Berdasarkan hasil estimasi interval, dapat disimpulkan bahwa 95% responden
berpendapat rata-rata usia sampel adalah antara 40,80 hingga 45,00 tahun. Lebih dari separuh
peserta adalah laki-laki (56,1%), lebih dari separuhnya bekerja (53,8%), dan lebih dari
separuhnya sudah menetap (56,1%). Dari segi status pendidikan, 59,5% responden
berpendidikan lebih baik.
Gambaran Dukungan Sosial Klien Skizofrenia di Unit Pelayanan Jiwa A RSJ HB Saanin
Padang Tahun 2016
Tabel 3 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Dukungan Sosial
di Unit Pelayanan Jiwa A RSJ HB Saanin Padang Tahun 2016 (n = 173)
Dukungan Sosial
f
%
Tinggi
91
52,6
Rendah
82
47,4
Pada tabel 3, diketahui bahwa 91 orang (52,6%) Hal ini dikarenakan klien
mempersepsikan bahwa ada seseorang yang dapat diajak bicara mengenai keputusan penting
Jurnal Sehat Indonesia: Vol. 6 No. 2, Juli 2024 | 707
dalam hidup, dan (75,7%) klien mempersepsikan memiliki hubungan dekat yang memberikan
rasa aman dan sejahtera, serta sebagian kecil responden (20,2%) mempersepsikan bahwa orang
lain tidak menganggap klien kompeten.
Tabel 4 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Bentuk Dukungan Sosial
Klien Skizofrenia di Unit Pelayanan Jiwa A RSJ HB Saanin
Padang Tahun 2016 (n=173)
Bentuk Dukungan Sosial
f
%
Kasih Sayang
Tinggi
87
50,3
Rendah
86
49,7
Integrasi sosial
Tinggi
107
61,8
Rendah
66
38,2
Bimbingan
Tinggi
98
56,6
Rendah
75
43,4
Jaminan adanya seseorang yang dapat
membantu saat dibutuhkan
Tinggi
90
52,0
Rendah
83
48,0
Penghargaan diri
Tinggi
96
55,5
Rendah
77
44,5
Kesempatan untuk mengasihi
Tinggi
94
54,3
Rendah
79
45,7
Dari tabel 4, diketahui bahwa sebagian besar responden (61,8%) memiliki dukungan
sosial yang tinggi dalam bentuk Integrasi sosial, sebanyak (56,6%) dalam bentuk Bimbingan.
Sedangkan sebagian kecil responden (50,3%) dalam bentuk Kasih Sayang.
Dari analisa kuesioner didapatkan bahwa sebagian besar responden (75,1%) memiliki
bentuk dukungan sosial yang tinggi dalam bentuk Integrasi sosial karena klien mempersepsikan
ada orang senang dengan aktivitas sosial yang klien lakukan, kemudian (74,0%) klien
mempersepsikan merasa menjadi bagian dari kelompok yang memiliki sikap dan kepercayaan
yang sama dengan klien, dan juga berdasarkan analisa kuesioner didapatkan bahwa responden
memiliki bentuk dukungan sosial yang tinggi dalam bentuk Bimbingan karena sebanyak
(77,5%) klien mempersepsikan bahwa ada seseorang yang dapat diajak bicara mengenai
keputusan penting dalam hidup, kemudian (74,0%) klien mempersepsikan bahwa ada seseorang
terpercaya yang dapat diminta sarannya bila klien memiliki masalah.
Dari analisa kuesioner didapatkan bahwa sebagian besar responden (75,7%) memiliki
bentuk dukungan sosial yang rendah dalam bentuk kasih sayang karena klien mempersepsikan
memiliki hubungan dekat yang memberikan saya rasa aman dan sejahtera, kemudian (68,8%)
klien mempersepsikan memiliki ikatan emosional yang kuat pada setidaknya satu orang, serta
sebagian kecil responden (24,9%) klien merasa bahwa tidak memiliki hubungan personal yang
dekat dengan orang lain.
52,6 persen responden memiliki dukungan sosial yang kuat. Hasil analisis kuesioner
mengungkapkan bahwa sebagian besar responden (77,5%) memiliki dukungan sosial yang
tinggi karena merasa memiliki hubungan dekat yang membuat mereka merasa aman dan
sejahtera, serta dapat berbicara dengan seseorang mengenai keputusan besar dalam hidup.
Hanya sebagian kecil responden (20,2%) yang merasa orang lain menganggap dirinya tidak
kompeten.
Jurnal Sehat Indonesia: Vol. 6 No. 2, Juli 2024 | 708
Gambaran Strategi Koping Klien Skizofrenia di Unit Pelayanan Jiwa A RSJ HB Saanin
Padang 2016
Tabel 5 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Strategi Koping
di Unit Pelayanan Jiwa A RSJ HB Saanin
Padang Tahun 2016 (n=173)
Strategi Koping
f
%
PFC
92
53,2
EFC
81
46,8
Dari tabel 5, dapat diketahui bahwa lebih dari separuh responden (53.2%) cenderung
menggunakan PFC. Berdasarkan analisa kuesioner didapatkan bahwa sebagian besar responden
(74,6%) cenderung menggunakan strategi koping dalam bentuk PFC yang tinggi karena klien
mempersepsikan mendapatkan pertolongan dan nasehat dari orang lain, dan (71,1%) klien
mencoba membuat strategi tentang apa yang harus dilakukan, serta sebagian kecil responden
(52,6%) menyerah untuk mengahadapi masalah.
Tabel 6 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Bentuk Strategi Koping PFC Pada Klien
Skizofrenia di Unit Pelayanan Jiwa A RSJ HB Saanin
Padang Tahun 2016 (n=173)
Strategi Koping PFC
f
%
Pelepasan perilaku
Baik
115
66,5
Kurang
58
33,5
Mencari dukungan sosial secara instrumental
Baik
100
57,8
Kurang
73
42,2
Koping aktif
Baik
96
55,5
Kurang
77
44,5
Perencanaan
Baik
91
52,6
Kurang
82
47,4
Berdasarkan tabel 6 di atas dapat diketahui bahwa sebagian besar responden (66,5%)
memiliki strategi koping PFC dalam bentuk Pelepasan perilaku, sebanyak (57,8%) responden
memiliki strategi koping PFC dalam bentuk Mencari dukungan sosial secara instrumental dan
(55,5%) dalam bentuk koipng aktif, Sedangkan sebagian kecil responden (52,6%) memiliki
strategi koping PFC dalam bentuk Perencanaan.
Berdasarkan analisa kuesioner didapatkan bahwa sebagian besar responden (58,4%)
cenderung menggunakan strategi koping PFC yang tinggi dalam bentuk Pelepasan perilaku
karena klien mempersepsikan menyerah berusaha menghadapi masalah, kemudian (52,6%)
klien mempersepsikan menyerah untuk mengahadapi masalah, dan juga analisa kuesioner
didapatkan bahwa responden cenderung menggunakan strategi koping PFC yang tinggi dalam
bentuk Mencari dukungan sosial secara instrumental karena sebanyak (74,6%) klien
mempersepsikan bahwa mendapatkan pertolongan dan nasehat dari orang lain, kemudian
(70,5%) klien mencari nasehat atau pertolongan dari orang lain mengenai apa yang harus
dilakukan.
Masih berdasarkan analisa kuesioner didapatkan bahwa responden cenderung
menggunakan strategi koping PFC yang tinggi dalam bentuk Koping aktif karena sebanyak
Jurnal Sehat Indonesia: Vol. 6 No. 2, Juli 2024 | 709
(65,9%) klien mempersepsikan hanya berfokus pada apa yang dapat dihadapi untuk
menyelesaikan masalah, kemudian (65,3%) klien mencoba melakukan sesuatu untuk
menyelesaikan masalah. Selanjutnya berdasarkan analisa kuesioner didapatkan bahwa sebagian
besar responden (71,1%) cenderung menggunakan strategi koping PFC yang rendah dalam
bentuk Perencanaan karena klien mencoba membuat strategi tentang apa yang harus dilakukan,
kemudian (70,5%) klien berfikir keras tentang langkah apa yang harus dilakukan.
Tabel 7 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Bentuk Strategi Koping EFC Pada Klien
Skizofrenia di Unit Pelayanan Jiwa A RSJ HB Saanin
Padang Tahun 2016 (n=173)
Strategi Koping EFC
f
%
Pengaturan emosi
iBaiki
121
69,9
iKurangi
52
30,1
Fokus pada pelepasan emosi
iBaiki
114
65,9
iKurangi
59
34,1
Menyalahkan Diri Sendiri
iBaiki
113
65,3
iKurangi
60
34,7
Mencari dukungan social secara emotional
iBaiki
112
64,7
iKurangi
61
35,3
Penggunaan obat terlarang
iBaiki
111
64,2
iKurangi
62
35,8
Agama
iBaiki
111
64,2
iKurangi
62
35,8
Menolak
iBaiki
110
63,6
iKurangi
63
36,4
Humor
iBaiki
110
63,6
iKurangi
63
36,4
Penerimaan diri
iBaiki
105
60,7
iKurangi
68
39,3
Mengalihkan perhatian
iBaiki
104
60,1
iKurangi
69
39,9
Berdasarkan tabel 7, dapat diketahui bahwa sebagian besar responden (69,9%) memiliki
strategi koping EFC dalam bentuk Pengaturan emosi, sebanyak (65,9%) responden memiliki
strategi koping EFC dalam bentuk pada Pelepasan emosi. Sedangkan sebagian kecil responden
(60,1%) memiliki strategi koping EFC dalam bentuk Pengalihan perhatian.
Berdasarkan analisa kuesioner didapatkan bahwa sebagian besar responden (59,5%)
cenderung menggunakan strategi koping EFC yang tinggi dalam bentuk Pengaturan emosi
karena klien mencoba melihat masalah dengan cara yang berbeda untuk membuatnya tampak
lebih positif, kemudian (50,3%) klien dapat menggambil hikmah terhadap apa yang telah
terjadi, dan juga berdasarkan analisa kuesioner didapatkan bahwa responden cenderung
menggunakan strategi koping EFC yang tinggi dalam bentuk Pelepasan emosi karena sebanyak
(73,4%) klien mengungkapkan perasaan negatifnya, kemudian (69,9%) klien mengatakan
berbagai hal untuk menghilangkan perasaan yang tidak menyenangkan.
Jurnal Sehat Indonesia: Vol. 6 No. 2, Juli 2024 | 710
Masih berdasarkan analisa kuesioner didapatkan bahwa sebagian besar responden
(74,0%) cenderung menggunakan strategi koping EFC yang rendah dalam bentuk Pengalihan
perhatian karena klien mengalihkan fikiran dari masalah dengan bekerja atau melakukan
aktifitas lain, kemudian (70,5%) klien melakukan sesuatu untuk mengurangi memikirkan hal
tersebut, seperti dengan melamun.
Diketahui bahwa 53,2% responden, atau lebih, sering menggunakan PFC. Berdasarkan
analisis kuesioner, sebagian besar responden (74,6%) cenderung menggunakan strategi
penanggulangan PFC tinggi karena mereka mengira mereka menerima dukungan dan
bimbingan dari orang lain, dan 71,1%) klien berusaha membuat rencana tentang apa yang harus
dilakukan. Persentase responden yang lebih kecil (52,6%) menyerah dalam menyelesaikan
masalah.
Kualitas Hidup Klien Skizofrenia di Unit Pelayanan Jiwa A RSJ HB Saanin Padang
Tahun 2016
Tabel 8 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Kualitas Hidup
Klien Skizofrenia di Unit Pelayanan Jiwa A RSJ HB Saanin
Padang Tahun 2016 (n=173)
Kualitas hidup
f
%
Baik
99
57,2
Buruk
74
42,8
Berdasarkan tabel 8 di atas dapat diketahui bahwa lebih dari separuh responden (57,2%)
memiliki kualitas hidup yang baik. Berdasarkan analisa kuesioner didapatkan bahwa sebagian
besar responden (100%) memiliki kualitas hidup yang baik karena klien mempersepsikan
bahwa kehidupannya berarti, dan (97,7%) klien mempersepsikan mampu menikmati hidup,
serta sebagian kecil responden (35,8%) mempersepsikan bahwa sering mengalami perasaan
negatif seperti sedih, kecewa, cemas, dan depresi.
Tabel 9 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Dimensi Kualitas Hidup Klien
Skizofrenia di Unit Pelayanan Jiwa A RSJ HB Saanin
Padang 2016 (n=173)
Dimensi kualitas hidup
f
%
Kesehatan Fisik
Baik
107
61,8
Buruk
66
38,2
Kesejahteraan Psikologis
Baik
98
56,6
Buruk
75
43,4
Hubungan Sosial
Baik
94
54,3
Buruk
79
45,7
Lingkungan
Baik
98
56,6
Buruk
75
43,4
Berdasarkan tabel 9 di atas dapat diketahui bahwa sebagian besar responden (61,8%)
memiliki kualitas hidup yang baik dalam dimensi kesehatan fisik, sebanyak (56,6%) responden
memiliki kualitas hidup yang baik dalam dimensi Kesejahteraan Psikologis dan Lingkungan.
Jurnal Sehat Indonesia: Vol. 6 No. 2, Juli 2024 | 711
Sedangkan sebagian kecil responden (54,3%) memiliki kualitas hidup yang baik dalam dimensi
Hubungan Sosial.
Berdasarkan analisa kuesioner didapatkan bahwa sebagian besar responden (66,5%)
memiliki kualitas hidup yang baik dalam dimensi kesehatan fisik karena klien memiliki tenaga
yang cukup untuk beraktifitas sehari-hari, kemudian (64,2) klien mempersepsikan merasa puas
dengan kemampuan untuk beraktifitas sehari-hari, dan juga berdasarkan analisa kuesioner
didapatkan bahwa responden memiliki kualitas hidup yang baik dalam dimensi Kesejahteraan
Psikologis dan Lingkungan karena sebanyak (100%) klien merasa memiliki hidup berarti,
(98,3%) klien merasa mampu berkonsentrasi, (97,7%) merasa menikmati hidup, (63,6%) klien
merasa puas dengan keadaan tempat tinggal serta (61,8%) klien mempersepsikan tersedia
informasi yang dibutuhkan dalam kehidupan hari demi hari.
Masih berdasarkan analisa kuesioner didapatkan bahwa sebagian besar responden
(72,3%) memiliki dimensi kualitas hidup yang rendah dalam dimensi Hubungan Sosial karena
klien mempersepsikan kepuasan dengan dukungan yang peroleh dari teman, (61,3%) klien
mempersepsikan kepuasan dengan hubungan pribadi, dan sebagian kecil responden (50,9%)
klien mempersepsikan kepuasan dengan kehidupan seksual.
Setelah dilakukan analisis penilaian kualitas hidup pelanggan skizofrenia diperoleh hasil
bahwa 99 orang (57,2%) memiliki kualitas hidup baik dan 74 orang (42,8%) memiliki kualitas
hidup buruk. Dapat dikatakan bahwa lebih dari separuh klien memiliki kualitas hidup yang baik.
Pasien rawat inap dengan kualitas hidup skizofrenia. Instrumen kuesioner yang berjumlah 24
pernyataan pada ranah fisik, psikis, interaksi sosial, dan lingkungan digunakan untuk mengukur
Hb Saanin Padang. Dari analisa ranah kualitas hidup didapatkan kualitas hidup ranah fisik
memiliki kecenderungan 61,8% dalam mempengaruhi kualitas hidup, kualitas hidup ranah
psikologi memiliki kecenderungan 56,6% dalam mempengaruhi kualitas hidup, kualitas hidup
ranah lingkungan memiliki kecenderungan 56,6% dalam mempengaruhi kualitas hidup,
diperkirakan kualitas hidup ranah sosial memiliki kecenderungan 54,3% dalam mempengaruhi
kualitas hidup. Dapat disimpulkan dalam penelitian ini ranah fisik lebih dominan dalam
peningkatan kualitas hidup klien skizofrenia dan ranah sosial paling rendah dalam kualitas hidup
klien skizofrenia.
Hubungan Karakteristik Demografi dengan Kualitas Hidup Klien Skizofrenia di Unit
Pelayanan Jiwa A RSJ. HB. Saanin Padang Tahun 2016
1. Hubungan Umur Dengan Kualitas Hidup Klien Skizofrenia di Unit Pelayanan Jiwa A RSJ
HB Saanin Padang Tahun 2016
173 orang penderita skizofrenia diperiksa dalam penelitian ini. Berdasarkan analisis
univariat, usia pasien berkisar antara 18 hingga 63 tahun, dengan rata-rata usia 42,90 tahun. Hal
ini sesuai dengan penelitian Ehab (2010) yang menemukan bahwa 65% orang dalam rentang
usia 18 hingga 65 tahun menderita skizofrenia. Menurut penelitian Erlina (2008), prevalensi
pasien skizofrenia adalah 81,3 di antara orang Rusia berusia 2535 tahun dan 18,7 di antara
mereka yang berusia 1724 tahun (Afconneri dkk., 2020). Huang dkk. (2008) melakukan
penelitian serupa pada individu penderita skizofrenia yang berusia antara 18 dan 65 tahun. Hal
ini menunjukkan bahwa skizofrenia dapat terjadi pada orang yang berada pada usia kerja.
Usia produktif merupakan periode yang penuh tantangan, pengharapan dan
perkembangan yang mencakup perubahan secara teratur dalam karakter dan sikap. Sedangkan
Jurnal Sehat Indonesia: Vol. 6 No. 2, Juli 2024 | 712
pada klien skizofrenia, perubahan perilaku yang drastis dan kegagalan dalam menjalankan
fungsi sosial serta stigma masyarakat yang melekat menyebabkan tidak memiliki kesempatan
dan kehilangan peluang untuk bekerja sehingga memengaruhi kualitas hidupnya. Marwaha dkk.
(2008) menyebutkan kualitas hidup klien skizofrenia dipengaruhi oleh usia salah satunya.
Trompenenar et al (2008) menunjukkan usia lanjut memiliki kualitas hidup yang tinggi
dibandingkan dengan usia muda.
Hasil analisa bivariat mendapatkan bahwa terdapat hubungan antara umur dengan kualitas
hidup klien skizofrenia. Secara statistik didapatkan nilai r untuk karakteristik umur terhadap
kualitas hidup adalah 0.632 kekuatan hubungan sedang artinya variable umur dengan kualitas
hidup memiliki hubungan yang positif dimana meningkatnya usia akan diikuti dengan
meningkatnya kualitas hidup. Umur dapat menjelaskan variabel kualitas hidup sebesar 40%.
Berdasarkan Nofitri (2009), usia dewasa berada pada rentang usia 18 hingga 55 tahun.
Saat memasuki usia dewasa, individu akan membentuk harapan mengenai kehidupan yang ia
inginkan, membuat keputusan-keputusan baik dalam hal pendidikan, karir, maupun gaya hidup,
dan mengatur hidupnya untuk mencapai harapan serta memelihara keputusan yang telah ia buat
(Feldman, 2007).
Pada usia dewasa individu juga akan membentuk keluarga, mengasuh dan membimbing
anak untuk dapat mencapai kehidupan yang baik, mengurus kehidupan rumah tangganya
sekaligus mulai memperhatikan kontribusinya bagi masyarakat dan bagi generasi selanjutnya.
Berdasarkan hal tersebut ehingga dapat disimpukan bahwa semakin meningkatnya usia maka
akan semakin meningkatan kualitas hidup.
2. Hubungan Jenis Kelamin dengan Kualitas Hidup Klien Skizofrenia di Unit Pelayanan Jiwa
A RSJ. HB. Saanin Padang Tahun 2016.
Berdasarkan hasil analisis univariat, responden laki-laki berjumlah 56,1% sampel, diikuti
responden perempuan sebanyak 43,9%. Hal ini konsisten dengan penelitian John (2009) dan
Crump et al. (2009) yang menemukan terdapat rasio 1,4 antara prevalensi skizofrenia pada pria
dan wanita. (2013) menemukan bahwa 50,1 pasien49,9% laki-laki dan 49,9% perempuan
di Swedia telah didiagnosis menderita skizofrenia. Dapat disimpulkan bahwa laki-laki lebih
besar kemungkinannya mengalami skizofrenia dibandingkan perempuan.
Padahal dari hasil uji chi square tidak terdapat hubungan yang signifikan antara jenis
kelamin dengan kualitas hidup yang dialami individu penderita skizofrenia (p=0,121).
Prevalensi kualitas hidup baik lebih tinggi pada perempuan (64,5%) dibandingkan laki-laki
(51,5%). Sejalan dengan Galuppi dkk. (2010) yang menemukan klien perempuan memiliki
kualitas hidup yang lebih tinggi dibandingkan laki-laki.
Karena anak laki-laki mencapai pubertas lebih lambat dibandingkan anak perempuan,
laki-laki lebih mungkin menderita penyakit mental dibandingkan perempuan. Menurut Waber
dkk. (2008) yang berhipotesis, kerentanan jiwa seseorang dipengaruhi oleh kematangan fungsi
otaknya. Dapat disimpulkan bahwa laki-laki lebih besar kemungkinannya mengalami
skizofrenia dibandingkan perempuan.
3. Hubungan Status Pendidikan dengan Kualitas Hidup Klien Skizofrenia di Unit Pelayanan
Jiwa A RSJ. HB. Saanin Padang Tahun 2016.
Hasil analisis univariat menunjukkan bahwa dari 173 responden Menurut status
pendidikan lebih dari separuh responden berpendidikan tinggi (59.5%). penelitian Andara
Jurnal Sehat Indonesia: Vol. 6 No. 2, Juli 2024 | 713
(2007) dari 168 responden skizofrenia 46% diantaranya berpendidikan SMA dan 35%
berpendidikan SD.
Tingkat pendidikan menengah atau tinggi menunjukan skor kualitas hidup lebih tinggi
Berbeda dengan pendidikan yang tidak memadai. Temuan penelitian sependapat dengan Moons
dkk. (2004) dan Barbareschi dkk. (2011), yang menyimpulkan bahwa tingkat pendidikan
merupakan salah satu variabel yang dapat mempengaruhi kualitas hidup.
Keterkaitan bisa langsung bisa juga tidak langsung, misalnya mereka yang berpendidikan
tinggi akan memiliki peluang mendapatkan sumber penghasilan yang lebih besar untuk
memenuhi kebutuhan kehidupan. Orang berpendidikan memiliki kemampuan berpikir logis
sehingga lebih menggunakan pendekatan pemecahan masalah.
Pendidikan merupakan salah satu komponen sistem personal yang dibutuhkan manusia
untuk mencapai tujuan dan kehidupan semaksimal mungkin.
Temuan analisis menunjukkan bahwa pendidikan dan kepuasan hidup berkorelasi
(p=0,003). Hasil pemeriksaan kuesioner menunjukkan bahwa responden dengan pendidikan
lebih tinggi lebih sering menjawab domain Psikologi (63,1%). Beragamnya kejadian dalam
kehidupan dalam segala dimensinya-sosial, budaya, dan ekonomi-memberikan gambaran yang
lebih jelas tentang bagaimana, jika kita mampu memanfaatkan apa yang kita miliki, pada
akhirnya hal itu akan menjadi lebih bermakna. Hal ini disebabkan oleh rendahnya kualitas
pendidikan.
Ciri-ciri yang membedakan orang yang berpendidikan tinggi atau rendah antara lain
adalah pada aspek kreativitas dan produktivitas, yang ditunjukkan dengan hasil kerja atau
kinerja yang efektif. Jika orang mampu secara rasional menunjukkan konsekuensi dari aktivitas
produktifnya dan apa yang mereka miliki.
Akibatnya, seseorang yang berpendidikan tinggi mempunyai peluang untuk menghasilkan
cukup uang untuk memenuhi kebutuhan yang lebih kreatif dan masuk akal, sehingga
meningkatkan standar hidupnya. Hal ini konsisten dengan penelitian Wahl et al. (2004) yang
menemukan bahwa kualitas hidup seseorang akan meningkat seiring dengan meningkatnya
tingkat pendidikan.
Hubungan Status Pekerjaan dengan Kualitas Hidup Klien Skizofrenia di Unit Pelayanan
Jiwa ARSJ. HB. Saanin Padang Tahun 2016
Temuan analisis univariat menunjukkan bahwa 53,8% responden bekerja. Menurut
Suryani (2013) yang melakukan penelitian di Provinsi Jawa, pasien skizofrenia di instalasi rawat
jalan rumah sakit jiwa bekerja 63% lebih banyak dibandingkan yang tidak bekerja. Menurut
Moons dkk. (2004), terdapat variasi kualitas hidup pada individu yang bekerja, individu yang
tidak bekerja (atau sedang mencari pekerjaan), dan individu dengan disabilitas atau tidak
mampu bekerja).
Penelusuran hubungan antara status pekerjaan klien skizofrenia dan kualitas hidup
menunjukkan bahwa proporsi mereka yang bekerja lebih tinggi (65,6%) dibandingkan mereka
yang tidak (47,5%) yang memiliki kualitas hidup baik. Berdasarkan hasil uji Chi Square yang
menunjukkan nilai p=0,025 (p<0,05) maka dapat dikatakan bahwa status pekerjaan dan kualitas
hidup berhubungan secara signifikan.
Jurnal Sehat Indonesia: Vol. 6 No. 2, Juli 2024 | 714
Hubungan Status Pernikahan dengan Kualitas Hidup Klien Skizofrenia di Unit Pelayanan
Jiwa A RSJ. HB. Saanin Padang Tahun 2016
Hasil analisis univariat mengindikasikan bahwa mayoritas responden berstatus menikah
(56.1%), belum menikah (33.5% ), janda/duda (10.4)%. Lee (1998) dalam Nofitri (2009)
menemukan bahwa status pernikahan adalah prediktor terbaik untuk kualitas hidup secara
keseluruhan.
Dalam pencapaian tujuan manusia menurut King (1971) harus memiliki kemampuan
dalam berinteraksi dengan masyarakat, mempunyai perasaan, rasional, kemampuan dalam
bereaksi. Pernikahan adalah salah satu aktivitas individu yang biasanya terkait dengan tujuan
tertentu yang ingin dicapai.
Penelitian yang dilakukan Wahl dkk. (2004) secara umum baik pada pria maupun wanita,
menunjukkan bahwa individu yang menikah memiliki kualitas hidup yang lebih tinggi
dibandingkan dengan yang tidak menikah, bercerai, atau menjadi janda/duda akibat pasangan
meninggal. Penelitian serupa oleh Rai dkk,. dalam Suri & Daryanto (2019) mendapatkan status
pernikahan mempunyai hubungan dengan kualitas hidup klien skizofrenia (p=0.003), status
menikah dan memiliki pasangan berpengaruh meningkatkan kualitas hidup klien skizofrenia
terkait sumber koping dan pelaku rawat terdekat yang akan merawat klien sebaliknya jika
belum menikah atau berstatus janda/duda mempengaruhi penurunan kualitas hidup.
Dari analisis hubungan antara status pernikahan dan kualitas hidup klien skizofrenia,
ditemukan bahwa proporsi yang memiliki kualitas hidup baik lebih tinggi di antara yang
menikah (64,9%) dibandingkan dengan yang belum menikah, janda, atau duda. Hasil uji Chi
Square menunjukkan nilai p=0,049 (p<0,05), menunjukkan adanya hubungan yang signifikan
antara status pernikahan dan kualitas hidup.
Menurut peneliti status pernikahan mempengaruhi kualitas hidup klien skizofrenia, saat
peneliti mengumpulkan data klien skizofrenia yang diwawancarai lebih banyak ditemani oleh
pasangannya (suami/istri), memiliki pasang merupakan sumber koping yang dibapatkan oleh
klien skizofrnia dalam kehidupannya, dengaan adanya pasangan klien merasa lebih termotivasi
dalam menjalani aktivitas. Menurut analisis didapatkan klien yang menikah memiliki kualitas
hidup baik didukung dengan data 69.1% menjawab memiliki cukup tenaga untuk beraktifitas
sehari-hari, 68% menjawab merasa puas dalam kemampuan beraktifitas sehari-hari.
Hubungan Dukungan Sosial dengan Kualitas Hidup Klien Skizofrenia Di Unit Pelayanan
Jiwa A RSJ. HB. Saanin Padang Tahun 2016
Dalam penelitian ini, 173 klien skizofrenia berpartisipasi dalam analisis. Hasil analisis
univariat menunjukkan bahwa 91 klien (52,6%) memiliki dukungan sosial yang tinggi,
sedangkan 82 klien (47,4%) memiliki dukungan sosial yang rendah. Temuan penelitian ini
sejalan dengan penelitian tahun 2009 yang dilakukan di Rumah Sakit Ghrasia Yogyakarta oleh
Indah, yang menemukan bahwa mayoritas responden (86,4%) menerima dukungan sosial yang
sangat baik.
Agar dapat merasakan kasih sayang, dapat berfungsi dalam masyarakat, dan berperan
dalam menghindari penyakit mental dan pemulihan, penderita skizofrenia membutuhkan
dukungan sosial. Hal tersebut sejalan dengan Sistem sosial dalam karakteristik teori King (1971)
yang menyatakan bahwa sistem sosial merupakan suatu sistem dinamis serta dibutuhkan
individu dalam berinteraksi dengan lingkungan yang dipengaruhi oleh perilaku masyarakat,
Jurnal Sehat Indonesia: Vol. 6 No. 2, Juli 2024 | 715
persepsi, interaksi dan kesehatan. Sehingga dukungan sosial sangat penting bagi setiap individu
terutama klien skizofrenia.
Kita semua diharapkan dapat berkontribusi dalam memberikan dukungan sosial sesuai
dengan tuntutan klien karena kita menyadari betapa pentingnya dukungan sosial bagi klien.
Dengan memberikan dukungan yang tulus kepada klien, Anda dapat membantu mereka merasa
dicintai, diperhatikan, dihargai, diterima oleh keluarga, komunitas, dan lingkungan sosialnya.
Hal ini akan membantu mereka mengadopsi cara pandang hidup yang sesuai dengan norma dan
pola komunitasnya, yang pada akhirnya akan meningkatkan kualitas hidup mereka.
Hasil uji Chi Square diperoleh nilai p=0.010 (p<0.05) maka dapat disimpulkan bahwa ada
hubungan yang bermakna antara dukungan sosial dengan kualitas hidup. Hasil analisis diperoleh
juga OR= 2.354, artinya klien yang memiliki dukungan sosial rendah mempunyai peluang 2.354
untuk memiliki kualitas hidup yang buruk. Dalam hal ini dukungan sosial yang rendah
merupakan faktor resiko dari kualitas hidup buruk dengan probabilitas 70%.
Menurut analisis peneliti bila dukungan sosial yang dirasakan klien bersifat positif/
suportif, maka klien akan memiliki kualitas hidup yang baik pula. Hal ini disebabkan karena
adanya dukungan dalam bentuk kasih sayang, integrasi sosial, bimbingan, adanya seseorang
yang membantu saat dibutuhkan, penghargaan diri dan kesempatan mengasihi bagi klien
skizofrenia selama menjalani perawatan.
Namun penelitian menunjukkan bahwa tidak semua dukungan sosial bersifat
positif/mendukung dan menghasilkan kualitas hidup yang baik bagi klien.Begitu pula
sebaliknya, semua dukungan sosial bersifat negatif atau tidak mendukung dan mengakibatkan
penurunan kualitas hidup klien.Salah satu alasannya adalah dukungan yang tersedia dianggap
tidak membantu.Hal ini bisa terjadi karena dukungan sosial yang diberikan tidak cukup, orang
tersebut merasa tidak membutuhkan bantuan, atau mentalnya terlalu khawatir untuk
memperhatikan dukungan sosial yang diberikan.Dalam hal ini, dukungan yang diberikan tidak
sesuai dengan kebutuhan dan pada akhirnya menjadi preseden buruk, dimana penyedia
dukungan melakukan atau menyarankan perilaku tidak sehat.
Hasil penenelitian ini selaras dengan hasil penelitian Fiona (2013) dan Hsiung dkk.
(2010) yang menunjukkan bahwa dukungan sosial mempunyai pengaruh terhadap kualitas
hidup pasien skizofrenia.
Hubungan Strategi Koping dengan Kualitas Hidup Klien Skizofrenia Di Unit Pelayanan
Jiwa A RSJ. HB. Saanin Padang Tahun 2016
Hasil analisis univariat diketahui bahwa terdapat 92 klien (53.2%) menggunakan PFC dan
81 klien (46.8%) menggunakan EFC.
Orang memerlukan mekanisme koping ketika dihadapkan dengan keadaan stres untuk
mengurangi ketegangan yang mereka alami. Hal tersebut sejalan dengan sistem interpersonal
dalam karakteristik teori King (1971) yang menyatakan bahwa ketika dua atau lebih individu
saling berinteraksi maka diperlukan adanya suatu konsep yang melihat tentang peran, interaksi,
komunikasi, transaksi, stres dan koping, dimana stres dalam konsep Tingkat dinamis dalam
hubungan antara manusia dan lingkungannya adalah King (1971). Oleh karena itu, jika
seseorang mengalami stres dalam suatu pertunangan dan dihadapkan pada keadaan yang penuh
tekanan, maka diperlukan suatu teknik coping untuk mengurangi atau menghilangkan kondisi
stres tersebut.
Jurnal Sehat Indonesia: Vol. 6 No. 2, Juli 2024 | 716
Berdasarkan hasil penelitian, mayoritas responden (71,7%) cenderung memiliki strategi
coping berupa PFC tingkat tinggi karena klien merasa mendapat bantuan dan nasehat dari orang
lain ternyata ada. Konseling merupakan sarana untuk membantu individu menghindari atau
mengatasi kesulitan hidup sehingga dapat mencapai kepuasan dalam hidup. Oleh karena itu,
masyarakat yang selalu mendapat nasehat yang tepat secara tidak langsung dapat meningkatkan
kualitas hidupnya.
Berdasarkan analisis terhadap bentuk-bentuk strategi coping PFC, diperoleh hasil bahwa
bentuk strategi coping PFC yang paling tinggi (66,5%) adalah bentuk behavioral
disengagement.Dilihat dari definisi behavioral pulling (Carver, 1989), berarti mengurangi
upaya seseorang dalam mengatasi suatu stresor dan menghentikan upaya menghilangkan stresor
yang mengganggu.Hal ini dapat dicapai dengan melakukan berbagai aktivitas seperti
berolahraga, menonton TV, tidur dan menghabiskan waktu bersama keluarga yang dapat
mengalihkan perhatian individu dari permasalahannya.Dengan memberikan pelarian melalui
hiburan, mereka yang menghadapi permasalahan dapat merasa berdaya untuk mengatasinya.
Berdasarkan hasil uji Chi Square yang menunjukkan nilai p=0,028 (p<0,05), maka dapat
dikatakan bahwa teknik coping dan kualitas hidup berhubungan secara signifikan. Selain itu,
hasil analisis menunjukkan OR= 2,089 yang menunjukkan bahwa klien pengguna PFC memiliki
risiko hidup dengan kualitas hidup rendah sebesar 2,089 persen. PFC memiliki kemungkinan
67% menjadi faktor risiko rendahnya kualitas hidup dalam hal ini.
Berdasarkan hasil statistik didapatkan bahwa PFC merupakan faktor resiko yang
memperburuk kuakitas hidup klien. Namun hasil penelitian hanya menunjukkan bahwa klien
yang menggunakan PFC dalam penelitian ini mayoritas memiliki kualitas hidup buruk, bukan
berarti klien yang menggunakan PFC lebih beresiko untuk memiliki kualitas hidup yang buruk.
Menurut Lazarus (1984) dalam Boyd (2012), kedua mekanisme coping tersebut tidak ada
yang ideal dalam setiap situasi. Bagi setiap orang, kedua taktik ini akan muncul secara alami
dan membentuk pola tertentu. Mekanisme penanggulangan apa pun yang digunakan diharapkan
dapat berhasil.
Pada umumnya kecenderungan penggunaan PFC muncul pada saat peristiwa yang terjadi
masih ada kemungkinan dapat diubah atau dapat diperbaiki. Sedangkan kecenderungan
penggunaan EFC muncul pada saat keadaan mengancam, berbahaya dan menantang yang
kondisinya tidak dapat diubah. jika itu ada hubungannya dengan tingkat stres seseorang. Tingkat
pemanfaatan yang berbeda dapat dilakukan dari kedua taktik ini.
Keputusan individu dalam memilih strategi dan respon coping ketika menghadapi situasi
stres ditentukan oleh dua faktor yaitu faktor eksternal dan faktor internal.Faktor eksternal,
mencakup ingatan akan pengalaman dalam situasi yang berbeda, dukungan sosial, dan tekanan
keseluruhan dari berbagai situasi kehidupan penting.Faktor internal, Ini termasuk gaya koping
yang biasanya digunakan seseorang dalam kehidupan sehari-hari dan kepribadiannya.
Menurut analisa peneliti kebanyakan klien menggunakan strategi koping EFC yang
memiliki kualitas hidup baik adalah karena klien merasakan bahwa strategi koping EFC
merupakan koping yang baik, sehingga muncullah tindakkan positif yang dapat merubah
keadaan menjadi lebih baik, meningkatnya konsep diri dan peningkatan dalam menjalankan
fungsi sosial. Sehingga dapat disimpulkan bahwa kecenderungan penggunaan strategi koping
EFC menurut klien merupakan koping positif dan mengarah kepada adaptasi yang baik serta
oleh adanya keseimbangan antara kesehatan dan kesakitan, kesejahteraaan dan fungsi sosial
Jurnal Sehat Indonesia: Vol. 6 No. 2, Juli 2024 | 717
yang optimal sehingga kecenderungan strategi koping EFC lebih banyak meningkatkan kualitas
hidup klien.
Hal ini sesuai dengan apa yang disampaikan oleh Lestari (2018), bahwa dari studi yang
dilakukanya individu yang memiliki masalah senantiasa bersepon secara positif untuk
menghadapi permasalahanya dan jika gagal, ia akan berespon secara negatif dan menggunakan
koping bunuh diri.
Berdasarkan pembahasan di atas diketahui bahwa strategi coping memegang peranan
penting dalam interaksi antara situasi stres dan adaptasi sehingga menentukan kualitas hidup
seseorang.Strategi coping yang digunakan klien skizofrenia pada penelitian ini sangat
umum.Ada sedikit signifikansi antara kecenderungan untuk menggunakan strategi
penanggulangan tertentu.Namun setiap responden cenderung menggunakan strategi coping.
Pada penelitian ini peneliti hanya fokus mengukur strategi koping PFC dan EFC namun
tidak menutup kemungkinan klien menggunakan sttrategi koping lain seperti Task Oriented
Reaction (reaksi berorientasi ada tugas) maupun Ego Oriented Reaction (reaksi berorientasi
pada ego ataupun menggunakan strategi koping lain tetatpi tidak diukur dalam penelitian ini.
Para peneliti menemukan bahwa rumah sakit mampu mengidentifikasi lima tantangan
penanggulangan yang terkait dengan 5 fungsi: mengurangi kondisi lingkungan yang berbahaya
dan meningkatkan prospek perbaikannya, menoleransi atau beradaptasi dengan kenyataan
negatif, dan mempertahankan citra diri yang positif penggunaan strategi kopingsegala jenis
koping diharapkan dapat meningkatkan kualitas hidup penderita skizofrenia, karena
memungkinkan mereka menjaga keseimbangan emosional dan tetap puas dengan hubungannya
dengan orang lain.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian, dapat diambil kesimpulan bahwa terdapat hubungan yang
signifikan antara dukungan sosial, strategi koping, dan kualitas hidup klien skizofrenia di Unit
Pelayanan Jiwa A RSJ Prof. Dr. HB Saanin Padang pada tahun 2016. Temuan menunjukkan
bahwa individu yang menerima dukungan sosial yang kuat dan menggunakan strategi koping
yang efektif cenderung memiliki kualitas hidup yang lebih baik. Hasil ini memberikan
pemahaman yang lebih dalam mengenai pentingnya peran dukungan sosial dan strategi koping
dalam merawat klien skizofrenia, serta menyoroti relevansinya dalam memperbaiki kualitas
hidup pasien di lingkungan pelayanan jiwa. Oleh karena itu, penekanan pada pemberian
dukungan sosial yang adekuat dan pengembangan strategi koping yang tepat dapat menjadi
langkah-langkah penting dalam meningkatkan kualitas hidup klien skizofrenia.
Daftar Pustaka
Afconneri, Y., Lim, K., & Erwina, I. (2020). Faktor-Faktor Kekambuhan pada Klien
Skizofrenia di Poliklinik Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr. Hb Saâ€
TM
anin Padang. Jurnal
Endurance: Kajian Ilmiah Problema Kesehatan, 5(2), 321330.
Barbareschi, M., Cantaloni, C., Del Vescovo, V., Cavazza, A., Monica, V., Carella, R., Rossi,
G., Morelli, L., Cucino, A., Silvestri, M., Tirone, G., Pelosi, G., Graziano, P., Papotti, M.,
Palma, P. D., Doglioni, C., & Denti, M. A. (2011). Heterogeneity of Large Cell Carcinoma
of the Lung. American Journal of Clinical Pathology, 136(5), 773782.
https://doi.org/10.1309/AJCPYY79XAGRAYCJ
Jurnal Sehat Indonesia: Vol. 6 No. 2, Juli 2024 | 718
Boyd, A. (2012). Psychiatric Nursing Contemporary Practice. Aptara, Inc.
Galuppi, A., Turola, M., Nanni, M., Mazzoni, P., & Grassi, L. (2010). Schizophrenia and
quality of life: how important are symptoms and functioning? International Journal of
Mental Health Systems, 4(1), 31. https://doi.org/10.1186/1752-4458-4-31
Hamaideh, S., Al‐Magaireh, D., Abu‐Farsakh, B., & Al‐Omari, H. (2014). Quality of life, social
support, and severity of psychiatric symptoms in Jordanian patients with schizophrenia.
Journal of Psychiatric and Mental Health Nursing, 21(5), 455465.
https://doi.org/10.1111/jpm.12112
Hsiung, P.-C., Pan, A.-W., Liu, S.-K., Chen, S.-C., Peng, S.-Y., & Chung, L. (2010). Mastery
and Stigma in Predicting the Subjective Quality of Life of Patients With Schizophrenia in
Taiwan. Journal of Nervous & Mental Disease, 198(7), 494500.
https://doi.org/10.1097/NMD.0b013e3181e4d310
Huang, C., Sousa, V. D., Tsai, C., & Hwang, M. (2008). Social support and adaptation of
Taiwanese adults with mental illness. Journal of Clinical Nursing, 17(13), 17951802.
https://doi.org/10.1111/j.1365-2702.2008.02310.x
Marwaha, S., Johnson, S., Bebbington, P., Angermeyer, M. C., Brugha, T., Azorin, J.-M.,
Kilian, R., Kornfeld, A., & Toumi, M. (2008). Correlates of Subjective Quality of Life in
People With Schizophrenia. Journal of Nervous & Mental Disease, 196(2), 8794.
https://doi.org/10.1097/NMD.0b013e318162aa9c
Peristianto, S. V., & Lestari, S. (2018). Peningkatan Dukungan Sosial Orang Tua dengan Anak
Skizofrenia melalui Solution Focused Therapy. Jurnal Psikologi, 45(1).
https://doi.org/10.22146/jpsi.18114
Rubbyana, U. (2012). Hubungan Antara Strategi Koping Dengan Kualitas Hidup Pada
Penderita Skizofrenia Remisi Simptom [Skripsi, Universitas Airlangga].
http://repository.unair.ac.id/id/eprint/106877
Rudnick, A., & Martins, J. (2009). Coping and Schizophrenia: A Re-analysis. Archives of
Psychiatric Nursing, 23(1), 1115. https://doi.org/10.1016/j.apnu.2008.02.009
Suri, M., & Daryanto, D. (2019). Hubungan Harga Diri dan Stigma Dengan Kualitas Hidup
Pasien Skizofrenia di Klinik Jiwa RSJD Provinsi Jambi. Jurnal Ilmiah Kesehatan
Pencerah, 8(2), 93103. https://doi.org/https://doi.org/10.12345/jikp.v8i02.141
Wahl, R. L., Siegel, B. A., Coleman, R. E., & Gatsonis, C. G. (2004). Prospective Multicenter
Study of Axillary Nodal Staging by Positron Emission Tomography in Breast Cancer: A
Report of the Staging Breast Cancer With PET Study Group. Journal of Clinical
Oncology, 22(2), 277285. https://doi.org/10.1200/JCO.2004.04.148
WHOQOL-BREFF. (2012). Development of the world health organization WHOQOL-BREFF
quality of life assesment. WHOQOL Group.
Xiao, J. (2013). Academic Stress, Test Anxiety, and Performance in a Chinese High School
Sample: The Moderating Effects of Coping Strategies and Perceived Social Support
[Dissertation]. Georgia State University.