JUSINDO, Vol. 6 No. 2, Juli 2024
p-ISSN: 2303-288X, e-ISSN: 2541-7207
Jurnal Sehat Indonesia: Vol. 6 No. 2, Juli 2024 | 603
Pendekatan Diagnosis dan Tatalaksana Abses Hepar Piogenik pada Rumah Sakit
Perifer: Sebuah Laporan Kasus
Maria Demetria Bria
RSUD Kabupaten Rote Ndao, Nusa Tenggara Timur, Indonesia
ABSTRAK
Kata Kunci: Abses hepar;
Drainase Abses; Seftriakson;
Metronidazole
Abses Hepar merupakan jenis abses visceral yang paling umum
terjadi. Insiden tahunan abses hepar dilaporkan sejumlah 2,3
kasus per 100.000 penduduk dan lebih tinggi pada pria
dibandingkan wanita. Telah dilaporkan sebuah kasus abses
hepar pada seorang laki-laki usia 75 tahun yang datang ke
RSUD Kabupaten Rote Ndao dengan keluhan utama nyeri perut
kanan atas disertai demam naik turun, mual dan muntah. Pasien
ditatalaksana dengan kombinasi antibiotik spektrum luas yaitu
seftriakson 2 gram intravena tiap 24 jam dan metronidazole 500
mg intravena tiap 8 jam selama 14 hari. Evaluasi laboratorium
menunjukkan penurunan WBC menjadi 8400/L, SGOT
menjadi 31 IU/L dan SGPT menjadi 12 IU/L. Namun secara
klinis pasien masih mengalami demam, sehingga pada hari
rawat ke 16 dilakukan drainase abses dan didapatkan pus 300cc.
Post drainase abses, pasien kemudian dipulangkan dengan
kondisi klinis membaik dan konfirmasi laboratorium didapatkan
penurunan WBC, SGOT dan SGPT menjadi nilai normal.
Laporan kasus ini bertujuan untuk memberikan gambaran
pendekatan diagnosis dan tatalaksana abses hepar piogenik pada
rumah sakit perifer.
Keywords: Hepatic Abscess;
Abscess Drainage;
Seftriaxone, Metronidazole
ABSTRACT
Hepatic abscess is the most common type of visceral
abscess. The annual incidence of liver abscess is reported
at 2.3 cases per 100,000 population and is higher in men
than women. A case of liver abscess has been reported in
a 75-year-old man who came to Rote Ndao District
Hospital with the main complaint of upper right abdominal
pain accompanied by fever up and down, nausea, and
vomiting. Patients were treated with a combination of
broad-spectrum antibiotics, namely ceftriaxone 2 grams
intravenously every 24 hours and metronidazole 500 mg
intravenously every 8 hours for 14 days. Laboratory
evaluation showed a decrease in WBC to 8400 / (L, SGOT
to 31 IU / L, and SGPT to 12 IU / L. But clinically, the
patient still had a fever, so on the 16th day of treatment,
abscess drainage was carried out, and a 300cc pus was
obtained. Post abscess drainage, the patient was then
discharged with improved clinical condition, and
laboratory confirmation found a decrease in WBC, SGOT,
and SGPT to normal values. This case report aims to
provide an overview of the approach to the diagnosis and
Jurnal Sehat Indonesia: Vol. 6 No. 2, Juli 2024 | 604
management of pyogenic liver abscesses in peripheral
hospitals.
Correspondent Author: Maria Demetria Bria
Artikel dengan akses terbuka di bawah lisensi
Pendahuluan
Abses Hepar merupakan proses supuratif jaringan hepar akibat infeksi melalui aliran
darah, sistem bilier, atau penetrasi langsung (Felistiani, 2017; Mischnik et al., 2017). Abses
Hepar merupakan jenis abses visceral yang paling umum terjadi. Insiden tahunan abses hepar
dilaporkan sejumlah 2,3 kasus per 100.000 penduduk dan lebih tinggi pada pria dibandingkan
wanita (Davis & McDonald, 2022; Kaplan et al., 2004). Berdasarkan penyebabnya, abses hepar
diklasifikasikan menjadi abses hepar piogenik dan abses hepar amuba. Manifestasi klinis dapat
berupa demam dan nyeri perut kanan atas disertai muntah, anorexia, penurunan berat badan,
serta lemas badan (Davis & McDonald, 2022; Yusuf, 2020).
Pendekatan diagnosis dan pengelolaan abses hepar merupakan aspek penting dalam
praktek klinis karena kondisi ini merupakan proses supuratif jaringan hepar yang seringkali
memerlukan intervensi segera (Melinda & Faried, 2019). Abses hepar dapat terjadi sebagai
akibat infeksi melalui aliran darah, sistem bilier, atau penetrasi langsung. Sebagai jenis abses
visceral yang paling umum, keberadaannya menjadi fokus perhatian medis. Laporan
epidemiologi menunjukkan bahwa abses hepar memiliki insiden tahunan sekitar 2,3 kasus per
100.000 penduduk, dengan angka kejadian yang lebih tinggi pada populasi pria dibandingkan
wanita. Dalam konteks klasifikasi, abses hepar dapat dibagi menjadi dua jenis utama, yaitu
abses hepar piogenik dan abses hepar amuba. Manifestasi klinis dari abses hepar meliputi
demam, nyeri perut kanan atas yang dapat dirasakan, muntah, anoreksia, penurunan berat
badan, dan kelemahan tubuh secara umum. Terlepas dari variasi manifestasi ini, diagnosis yang
tepat dan tindakan pengelolaan yang cepat diperlukan untuk meminimalkan risiko komplikasi
dan meningkatkan prognosis pasien. Oleh karena itu, dalam konteks penyelidikan ini, kami
akan mengeksplorasi pendekatan diagnosis dan tatalaksana abses hepar di Rumah Sakit Umum
Daerah (RSUD) Kabupaten Rote Ndao serta membandingkannya dengan praktik di rumah sakit
perifer lain yang memiliki keterbatasan sumber daya dan fasilitas diagnostik. Dengan demikian,
penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman yang lebih mendalam tentang
efektivitas strategi penanganan yang tersedia dan memberikan wawasan yang berharga bagi
praktisi klinis dalam memperbaiki perawatan pasien dengan abses hepar.
Pendekatan diagnosis dan penatalaksanaan abses hepar mendesak karena kondisi ini
merupakan ancaman serius bagi kesehatan yang memerlukan respons cepat. Keterlambatan
dalam diagnosis atau pengobatan yang tidak tepat dapat berujung pada komplikasi serius,
seperti sepsis atau perdarahan, yang berpotensi fatal. Tingginya angka insiden abses hepar
menekankan perlunya pemahaman yang lebih baik tentang strategi pengelolaan yang efektif
untuk mengurangi dampaknya pada populasi yang terkena. Perubahan pola infeksi dan
resistensi antibiotik juga menambah urgensi untuk terus memperbarui pendekatan terapeutik
dalam penanganan abses hepar. Evaluasi praktik klinis yang berbeda di berbagai setting rumah
sakit, termasuk rumah sakit perifer dengan keterbatasan sumber daya, penting untuk
meningkatkan kualitas perawatan pasien secara keseluruhan.
Mengingat masih tingginya angka mortalitas, diperlukan tatalaksana yang cepat dan
tepat dalam menangani abses hepar piogenik. Laporan kasus ini bertujuan untuk memberikan
gambaran pendekatan diagnosis dan tatalaksana abses hepar piogenik pada rumah sakit perifer.
Jurnal Sehat Indonesia: Vol. 6 No. 2, Juli 2024 | 605
Metode Penelitian
Studi ini akan mengadopsi pendekatan studi kasus retrospektif untuk mengevaluasi
pendekatan diagnosis dan tatalaksana abses hepar di RSUD Kabupaten Rote Ndao dan rumah
sakit perifer lainnya. Populasi studi akan terdiri dari pasien dewasa yang didiagnosis dengan
abses hepar dalam rentang waktu tertentu. Data akan dikumpulkan dari rekam medis pasien,
dengan fokus pada anamnesis, pemeriksaan fisik, hasil pemeriksaan penunjang, jenis antibiotik
yang diberikan, durasi pengobatan, dan tatalaksana drainase abses. Analisis data akan
mencakup deskripsi karakteristik pasien serta perbandingan antara pendekatan dan hasil
pengobatan di kedua rumah sakit. Tahapan penelitian meliputi identifikasi pasien,
pengumpulan data, analisis, perbandingan hasil, dan interpretasi temuan untuk implikasi klinis
lebih lanjut.
Hasil dan Pembahasan
Ilustrasi Kasus
Telah dilaporkan sebuah kasus abses hepar piogenik pada seorang laki-laki usia 75 tahun
yang datang ke RSUD Kabupaten Rote Ndao dengan keluhan utama nyeri perut kanan atas
disertai demam naik turun, mual dan muntah. Keluhan sudah dirasakan sekitar 1 minggu
sebelum masuk RS. Pemeriksaan fisik didapatkan suhu axilla 38.5
0
C, ascites (gambar 1),
hepatomegali dan nyeri tekan abdomen regio kanan atas. Pemeriksaan laboratorium didapatkan
WBC 39.500, HGB 10.7 g/dL, PLT 115.000 /uL, SGOT 197 IU/L, SGPT 92 IU/L, bilirubin
direk 0.7 mg/dL, bilirubin indirek 0.6 mg/dL, bilirubin total 1.3 mg/dL. USG Abdomen
menunjukkan hepar ukuran membesar, echostructure normal, permukaan licin, sistema bilier
dan vascular intrahepatal tak prominen, tampak multiple lesi inhomogen (hypo-isoechoic)
membulat berbatas tegas, ireguler di lobus kanan hepar, ukuran lk 7.9 x 8.0 x 5.3 cm dan 8.8 x
6.7 x 4.0 cm, pada CFM tak tampak vaskularisasi intralesi, sehingga didapatkan kesan
hepatomegali dengan multiple abscess lobus kanan hepar ukuran lk 7.9 x 8.0x 5.3 cm dan 8.8
x6.7x4.0 cm (gambar 2).
Gambar 1 Ascites pada pemeriksaan fisik abdomen
Jurnal Sehat Indonesia: Vol. 6 No. 2, Juli 2024 | 606
Gambar 2 USG Upper Lower Abdomen
Pasien ditatalaksana dengan kombinasi antibiotik spektrum luas yaitu ceftriaxone 2 gram
intravena tiap 24 jam dan metronidazole 500 mg intravena tiap 8 jam selama 14 hari. Evaluasi
laboratorium menunjukkan penurunan WBC, SGOT dan SGPT menjadi nilai normal. Namun
secara klinis pasien masih mengalami demam, sehingga pada hari rawat ke 16 dilakukan
drainase abses dan didapatkan pus 300cc berwarna purulent dengan bau busuk.
Pasien kemudian dipulangkan dengan kondisi klinis membaik dan konfirmasi
laboratorium didapatkan penurunan WBC, SGOT dan SGPT menjadi nilai normal.
Abses Hepar merupakan proses supuratif jaringan hepar akibat invasi bakteri melalui
aliran darah, sistem bilier, atau penetrasi langsung (Bartimeus, 2021; Davis & McDonald, 2022;
Sari & Hidayat, 2015; Tjiptaningrum & Kurniati, 2019). Pendekatan diagnosis dilakukan
berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Manifestasi klinis dapat
berupa demam, khususnya disertai satu atau lebih gejala berikut; nyeri perut kuadran kanan atas,
peningkatan enzim hati, atau hiperbilirubinemia. Temuan satu atau lebih space-occupying liver
lesion yang teridentifikasi melalui pencitraan abdomen dapat meningkatkan kecurigaan abses
hepar. Pencitraan abdomen merupakan pendekatan yang tepat untuk mengevaluasi adanya abses
hepar. Ultrasound dan Computed Tomography (CT) merupakan pilihan modalitas pencitraan
pertama untuk mengidentifikasi abses hepar. Pada USG, abses hepar piogenik menunjukkan lesi
hypoechoic hingga hyperechoic. USG juga dapat menunjukkan internal echoes yang
menunjukkan debris. Pada pemeriksaan laboratorium, kultur darah merupakan pemeriksaan
penting dimana secara ideal dilakukan sebelum pemberian antiobiotik empiris. Namun apabila
tidak dapat dilakukan kultur darah maka dapat dilakukan pemeriksaan laboratorium lainnya
seperti pemeriksaan hematologi lengkap, elektrolit, enzim hepar, dan bilirubin (Davis &
McDonald, 2022).
Prinsip tatalaksana abses hepar adalah pemberian antibiotik dan drainase abses.
Pemberian antibiotic empiris sangat penting saat organisme penyebab tidak diketahui (Akhondi
& Sabih, 2022). Antibiotik empirik yang disarankan berupa sefalosporin generasi ketiga
(seftriakson 2 gr intravena tiap 24 jam) dan metronidazole 500 mg intravena tiap 8 jam selama
14 hari. Regimen antibiotik empiris harus mencakup bakteri streptococci, enteric gram negative
bacilli, dan anaerobes, dan juga E. histolytica karena tidak dapat dilakukan pemeriksaan kultur
darah dan abses amuba belum dapat dieksklusi. Antibiotik harus segera diberikan, sebelum
dilakukan tindakan drainase abses, untuk mencegah pasien jatuh dalam kondisi sepsis
(Solomkin et al., 2010). Sebuah studi tahun 2008 oleh Hope et al melaporkan 100% success rate
Jurnal Sehat Indonesia: Vol. 6 No. 2, Juli 2024 | 607
dengan pemberian antibiotic therapy saja pada abses hepar unilocular dengan diameter < 3 cm
(Hope et al., 2008).
Drainase abses merupakan pilihan tatalaksana yang optimal untuk Pyogenic Liver
Abscess. Drainase abses dapat dilakukan secara perkutaneous maupun secara pembedahan
(Mahendra & Prasetyo, 2021; Reyna-Sepúlveda et al., 2017; Smith & Carpenter, 2022).
Drainase abses secara pembedahan dapat dipertimbangkan sebagai tatalaksana primer pada
beberapa kondisi seperti:
(Smith & Carpenter, 2022)
Complex atau ruptured abscess
Multiple abscesses
Percutaneously unreachable abscess
Abses dengan ukuran besar (> 5 cm)
Bila terdapat komplikasi pembedahan, misalnya peritonitis.
Drainase dapat dilakukan secara laparoskopi
Tabel 1 Rekomendasi Antibiotik Empiris
Regrimen
Dose (adult)
*
Piperacilcilli-tazobactam
3.375 or 4.5 g IV every six hours
Ticarcillin-clavulanate
3.1 g IV every four hours
Ceftriaxone plus
2 g IV once daily
Metronidazole
500 mg IV or orally every eight hours
Ampicillin plus
2 g IV every four to six hours
Gentamicin plus
5 to 7 mg per kg IV daily
Metronidazole
500 mg IV or orally every eight hours
Ciprofloxacin or
400 mg IV every 12 hours or 750 mg orally twice
daily
Levofloxacin plus
500 or 750 mg IV or orally once daily
Metronidazole
500 mg IV or orally every eight hours
Imipenem-cilastatin
500 mg IV every six hours
Meropenem
1 g IV every eight hours
Ertapenem
1 g IV once daily
Kesimpulan
Pendekatan diagnosis abses hepar dilakukan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik
dan pemeriksaan penunjang. Prinsip tatalaksana abses hepar adalah pemberian antibiotik dan
drainase abses. Pada RSUD Kabupaten Rote Ndao, penggunaan antibiotik empiris spektrum
luas seperti sefalosporin generasi ketiga (seftriakson) dan metronidazole terbukti efektif karena
secara klinis memberikan outcome yang baik. Pada Rumah sakit perifer lain dengan
keterbatasan pemeriksaan kultur, penggunaan antibiotik empiris spektrum luas seperti
sefalosporin generasi ketiga (seftriakson) dan metronidazole dapat dipertimbangkan. Drainase
abses dapat dipertimbangkan untuk outcome klinis yang lebih optimal.
Jurnal Sehat Indonesia: Vol. 6 No. 2, Juli 2024 | 608
Bibliografi
Akhondi, H., & Sabih, D. E. (2022). Liver Abscess. StatPearls.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK538230/
Bartimeus, H. (2021). Hubungan Hiperbilirubinemia Dengan Derajat Keparahan Appendicitis
Akut [Thesis thesis, Universitas Hasanuddin].
http://repository.unhas.ac.id:443/id/eprint/12543
Davis, J., & McDonald, M. (2022). Pyogenic liver abscess. In: Calderwood, Stephen B., (ed.)
UpToDate. Wolters Kluwer Health, 122. https://www.uptodate.com/contents/pyogenic-
liver-abscess
Felistiani, V. (2017). Uji aktivitas ekstrak etanol biji Alpukat (Persea americana Mill.)
terhadap gambaran histopatologi hepar dan limpa pada Mencit (Mus musculus) yang
diinfeksi Staphylococcus aureus. [Undergraduate thesis, Universitas Islam Negeri
Maulana Malik Ibrahim]. http://etheses.uin-malang.ac.id/id/eprint/10712
Hope, W. W., Vrochides, D. V, Newcomb, W. L., Mayo-Smith, W. W., & Iannitti, D. A. (2008).
Optimal treatment of hepatic abscess. The American Surgeon, 74(2), 178182.
Kaplan, G. G., Gregson, D. B., & Laupland, K. B. (2004). Population-based study of the
epidemiology of and the risk factors for pyogenic liver abscess. Clinical Gastroenterology
and Hepatology, 2(11), 10321038. https://doi.org/10.1016/S1542-3565(04)00459-8
Mahendra, M., & Prasetyo, A. D. (2021). Abses Hepar: Sebuah Laporan Kasus. Collaborative
Medical Journal (CMJ), 4(1), 17. https://doi.org/10.36341/cmj.v4i1.2138
Melinda, L., & Faried, R. (2019). Analisis Praktik Klinik Keperawatan pada Pasien
Pnemothorax Terpasang Ventilator dengan Intervensi Inovasi Terapi Kombinasi Foot
Massage dan Lateral Position Terhadap Status Hemodinamik di Ruang Intensive Care
Unit (ICU) RSUD Abdul Wahab Sjahranie Samarinda Tahun 2019 [Karya Ilmiah Akhir,
Universitas Muhammadiyah Kalimantan Timur].
https://dspace.umkt.ac.id//handle/463.2017/892
Mischnik, A., Kern, W., & Thimme, R. (2017). Pyogener Leberabszess: Erregerprofil und
Konsequenzen für Diagnostik und Therapie. DMW - Deutsche Medizinische
Wochenschrift, 142(14), 10671074. https://doi.org/10.1055/s-0043-100540
Reyna-Sepúlveda, F., Hernández-Gued, M., García-Hernández, S., Sinsel-Ayala, J., Muñoz-
Espinoza, L., Pérez-Rodríg, E., & Muñoz-Maldonado, G. (2017). Epidemiology and
prognostic factors of liver abscess complications in northeastern Mexico. Medicina
Universitaria, 19(77), 178183.
Sari, N. K., & Hidayat, F. R. (2015). Analisis Praktik Klinik Keperawatan pada Pasien Post
Laparatomy Explorasi Drainase Appendiktomy E.C Peritonitis Dd Appendiks Perforasi
dan Pankreasitis Akut Terhadap Pemberian Aroma Terapi Lavender di Ruang High Care
Unit RSUD Abdul Wahab Sjahranie Samarinda Tahun 2015 [Universitas Muhammadiyah
Kalimantan Timur]. https://dspace.umkt.ac.id//handle/463.2017/1021
Smith, S. M., & Carpenter, C. F. (2022). “Hepatic Abscess.” Johns Hopkins ABX Guide, The
Johns Hopkins University. Johns Hopkins Guides.
www.hopkinsguides.com/hopkins/view/Johns_Hopkins_ABX_Guide/540259/all/Hepatic
_Abscess
Solomkin, J. S., Mazuski, J. E., Bradley, J. S., Rodvold, K. A., Goldstein, E. J. C., Baron, E. J.,
O’Neill, P. J., Chow, A. W., Dellinger, E. P., Eachempati, S. R., Gorbach, S., Hilfiker, M.,
May, A. K., Nathens, A. B., Sawyer, R. G., & Bartlett, J. G. (2010). Diagnosis and
Management of Complicated Intra-Abdominal Infection in Adults and Children:
Guidelines by the Surgical Infection Society and the Infectious Diseases Society of
America. Surgical Infections, 11(1), 79109. https://doi.org/10.1089/sur.2009.9930
Jurnal Sehat Indonesia: Vol. 6 No. 2, Juli 2024 | 609
Tjiptaningrum, A., & Kurniati, I. (2019). Aspek Klinis and Laboratorium pada Gangguan
Gastrointestinal dan Hepatobilier Blok Gastrointestinal. Aura : CV. Anugrah Utama
Raharja.
Yusuf, F. (2020). Penyakit Sistem Hepatobilier. Syiah Kuala University Press.